Tak jauh dari Bangsal Pacikeran atau bangsal yang biasa dipergunakan abdi dalem Singonegoro dan Mertolutut (sebutan bagi abdi dalem algojo kraton) terdapat relief perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Relief perjuangan tersebut terbagi menjadi 2 jaman perjuangan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu : jaman Belanda dan Jaman Jepang.
Relief perjuangan jaman Belanda menggambarkan perundingan antara G.R.M. Dorojatun dengan Gubernur Dr. L. Adam. Masalah yang mereka bicarakan adalah politik kontrak baru. Tanpa diingini kedua pihak pembicaraan berjalan tersendat-sendat.
Perjanjian politik belum juga ada kesepakatan, sementara kekosongan tahta kerajaan telah berlangsung cukup lama. Setelah mendapatkan petunjuk dan tuntunan bahwa tidak lama lagi Belanda akan pergi maka perjanjian itu ditanda tangani.
Tanggal 18 Maret 1940 G.R.M. Dorojatun diangkat menjadi putra mahkota, dan tidak lama berselang dinobatkan menjadi raja bergelar “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurachman Sayidin Panotogomo Kalifatulah Ing Tanah Jawa Ingkang jumeneng kaping X.
Dalam amanatnya, ketika beliau dinobatkan menjadi raja ditegaskan bahwa sekalipun kami dididik secara barat, namun kami adalah tetap orang Jawa atau Indonesia.
Menjelang akhir tahun 1941 pecah perang pasifik. Tentara Jepang bergerak ke Selatan. Pemerintah Belanda mengalami kesulitan. Dan di sisi lain Belanda melancarkan bujukannya terhadap Sultan Hamengku Buwono IX untuk turut mengungsi ke Australia. Tetapi dengan tegas beliau menolak tawaran tersebut. Alasannya dalam situasi bagaimanapun Sultan tetap ingin berada di tengah-tengah rakyatnya, apapun yang akan terjadi.
Dalam pidatonya di radio, beliau menegaskan agar rakyat hanya mendengarkan dan mentaati perintah-perintah yang datang dari beliau. Hingga akhirnya pada tanggal 5 Maret 1942 Kota Yogyakarta berhasil di duduki oleh tentara Jepang.
Baca juga: Kraton Yogyakarta wisata sejarah masa lampau
Di jaman Jepang inilah beliau mengambil kebijaksanaan untuk menarik kekuasaan dari “Pepatih Dalem” dan mengangkat beberapa orang yang dipercaya menjadi “Paniradya Pati”, yang tugasnya melaksanakan Pepatih Dalem dan langsung bertanggung jawab kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Penarikan kekuasaan itu memang membantu melancarkan hubungan antara rakyat dengan Sultan.