Jika dikontekskan atau direlevansikan dengan kondisi Indonesia era prakemerdekaan, maka yang disebut zaman Kalajangga dalam ramalan Jayabaya itu adalah zaman pujangga. Zaman Pujangga di Indonesia terbagi menjadi dua, yakni zaman pujangga purba yang terdiri dari para pujangga dari zaman kerajaan-kerajaan, dan zaman pujangga baru yang terdiri dari para pujangga dari zaman prakemerdekaan.
Dan sekarang ini kita sudah mengalami zaman pujangga baru. Dengan demikian zaman Kalajangga di Indonesia telah berlalu.
Baca juga: Zaman Kalabendu (zaman reformasi)
Zaman Sebelum Kemerdekaan
Mengapa banyak yang mengibaratkan zaman Kalajangga ini adalah zaman di masa sebelum kemerdekaan? Pasalnya, di masa prakemerdekaan, bermunculan para pujangga yang melahirkan karya-karya besar, seperti Chairil Anwar, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana dan lain-lain.
Merekalah yang disebut Pujangga Baru. Pertanyaannya adalah apa itu zaman pujangga baru? Bagaimana asal-usul munculnya zaman pujangga ini? Mari kita ulas sedikit tentang zaman Kalajangga di era prakemerdekaan ini.
Pada mulanya “Pujangga baru” adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia.
Adapun pengasuh dari majalah tersebut antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Armien Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi, Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah ke depan.
Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisannya pernah dimuat di majalah tersebut.
Majalah tersebut diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, suatu badan yang memang mempunyai perhatian khusus terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi, seperti telah disinggung di atas pada zaman pendudukan Jepang, majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.
Setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948-1953) dengan pemimpin angkatan ’45, seperti Asrul Sani, Rivai Apin, dan S. Rukiah.
Mengingat masa hidup Pujangga Baru itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang, maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya.
Baca juga: Zaman Kalajaya (zaman Orde Baru)
Angkatan 45
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa generasi pujangga baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan ’45 yang kemudian menyusulnya merupakan angkatan baru yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hati.
Sebenarnya, para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini tak mengherankan, karena pada zaman itu banyak pemuda Indonesia yang berpendidikan Barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusasteraan Belanda.
Di antara pujangga Belanda angkatan 80-an tersebut adalah Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan, merupakan penyair religius yang sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka, pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam ini lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi. Sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu.
Jiwa Barat rupanya juga jelas terlihat dalam diri Sutan Takdir Alisjahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusasteraan modern. Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat menguasai dirinya secara lahir batin.
Masih banyak lagi para Pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M, Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjmi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu cita-cita dan semangat, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerja sama, misalnya dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.
Baca juga: Zaman Kalasakti (zaman kemerdekaan dan Orde Lama)