Tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Hindhu Budha di Asia Tenggara

Sejarah Negara Com – Hubungan antara India dengan India Belakang (Asia Tenggara) sudah ada sejak masa prasejarah, namun mulai suatu jaman tertentu hubungan-hubungan itu mengakibatkan didirikannya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Semenanjung Indocina dan di Nusantara (Coedes, 2010: 41).

Pada suatu masa yang belum ditentukan abadnya, dan sebagai akibat keadaan dan peristiwa yang dapat dicoba dirumuskan, pedagang dan perantau yang sampai saat itu bertindak sendiri-sendiri datang beramai-ramai sehingga terbentuklah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang menerapkan seni, adat, agama-agama dari India serta memakai bahasa Sanskerta sebagai bahasa suci (Coedes, 2010: 2).

Bacaan Lainnya

Sebuah kerajaan tipe India sering didirikan dengan mengumpulkan beberapa kelompok orang setempat di bawah kewibawaan seorang pemimpin tunggal, bangsa India atau orang pribumi yang sudah menerima peradaban India, kelompok-kelompok itu masing-masing mempunyai jin pelindung atau dewa tanahnya, bersamaan waktu diatas sebuah gunung alamiah atau bikinan dilakukan pemujaan seorang dewa India yang erat hubungannya dengan tokoh raja dan yang melambangkan kesatuan kerajaan.

Kebiasaan ini yang terkait dengan pendirian sebuah kerajaan atau dinasti baru, telah dibuktikan kebenarannya dalam semua kerajaan Hindu-Budha di Indochina (Coedes, 2010: 56).

Peta Asia Tenggara versi Atlas
Peta Asia Tenggara Versi atlas

Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang ada di Asia Tenggara diantaranya sebagai berikut.

1. Kerajaan Dai Viet

Tentara Cina Han menaklukkan daerah ini pada abad pertama Masehi dan pada akhir abad ketiga. Di awal abad ke-11 kepemimpinan aristokrat yang baru muncul bersekutu dengan biarawan Budha, memindahkan istana kerajaan ke situs Hanoi modern yang mereka beri nama Thang-long.

Mereka memproklamirkan dinasti Ly dan mendirikan kerajaan Dai Viet. Raja-raja Viet yang memerintah di Hoa-lu dari tahun 960-an menegaskan otoritas mereka atas semua daerah yang dihuni oleh Viets dan mendapatkan pengakuan Tiongkok atas otoritas regional mereka.

Kedua pencapaian ini merupakan prasyarat mendasar untuk mendirikan pemerintahan Vietnam, namun itu tidak cukup dan kerajaan Hoa-lu bersifat transisi.

Beberapa raja yang memerintah Kerajaan Dai Viet diantaranya yaitu Ly Phat Ma. Ly Phat Ma (secara anumerta dikenal sebagai Ly Thai Tong, memerintah 1028-54), Ly Nhat Ton (secara anumerta dikenal sebagai Ly Thanh Tong, memerintah 1054-72), Ly Can Due (dinobatkan pada tahun 1072 dan memerintah hingga kematiannya pada tahun 1127) dan sebagainya (Tarling, 1992: 143-148).

2. Kerajaan Funan

Petunjuk pertama mengenai kerajaan Funan datang dari orang Cina. Mengenai kerajaan Funan datang dari buah pena K’ang T’ai, yang bersama-sama dengan Chu-ying dikirim kesana pada pertengahan abad III sebagai utusan. Ia menceritakan sejarah pendirian kerajaan itu oleh Kaundinya, yang namanya disalin ke dalam huruf Cina berbunyi Hun-t’ien.

Menurut catatannya, raja ini adalah orang asing yang datang dari suatu tempat, mungkin India, Semenanjug Melayu atau bahkan dari pulau-pulau di selatan.

Beliau dibimbing ke kerajaannya itu oleh impian, dalam mimpi itu ia mendapat wahyu mengenai tujuan perjalanannya itu. Ketika tiba di daerah itu beliau berhasil mengalahkan usaha seorang ratu di negeri itu bernama Liu-yeh untuk merampas kapalnya dengan menembus kapal ratu itu dengan panahnya yang sakti.

Kemudian beliau mengawininya dan mendirikan dinasti yang memerintah selama satu setengah abad kemudian (Hall, 1988: 26). Di Kamboja, menurut orang Cina, Kerajaan Funan didirikan oleh brahmana Kaundinya pada abad ke-1 M. Mereka menjalin hubungan dengan kerajaan itu dalam paruh pertama abad ke-3 M (Coedes, 2010: 45).

3. Kerajaan Champa

Champa adalah istilah umum untuk pemerintahan yang diselenggarakan oleh orang-orang Austronesia yang sepanjang apa yang sekarang menjadi pantai tengah Vietnam (Tarling, 1992: 153).

Peninggalan arkeologi yang paling tua yang sampai sekarang ditemukan di Champa adalah sebuah arca Buddha dari Dong Durong (Quang Nam) yang merupakan salah satu contoh terindah dari seni yang dinamakan Amaravati, tetapi yang sesungguhnya menunjukkan gaya Gupta dan tidak lebih tua dari abad ke-4 M (Coedes, 2010: 45-46).

4. Kerajaan Angkor

Munculnya pemerintahan Angkor dari abad kesembilan merupakan akumulasi kebijaksanaan politik dan budaya dari generasi sebagai upaya untuk mengatur tatanan politik dalam lingkungan sosial-ekonomi yang relatif menyebar.

Berbeda dengan Viets, yang mengembangkan pemerintahan mereka di daerah yang relatif terbatas dengan penduduknya yang padat sejak awal dan Chams yang ambisinya sebagian besar ditentukan oleh kantong-kantong pantai, masyarakat lain di Asia Tenggara menghuni bentang alam yang lebih luas.

Orang Khmer mendiami lembah Mekong bagian bawah, yang meliputi Tonle Sap atau Great Lake. Selama berabad-abad awal atau pra-Angkorean, sejarah Khmer tidak ada pusat tetap, bahkan tidak dapat dikatakan bahwa ada pemerintahan Khmer tunggal.

Pada abad kesembilan, kehidupan politik Khmer menjadi terpusat di Angkor. Angkor terletak di dekat pantai barat laut Tonle Sap. Pusat-pusat Pra-Angkorean dan pasca-Angkorean Khmer terletak di timur dan selatan, di sepanjang Mekong dengan akses langsung ke laut dan kekayaan yang dihasilkan perdagangan yang diberikan oleh akses ini tetapi Angkor bergantung pada beras (Tarling, 1992: 157-158).

Jayavarman II diyakini telah mati pada 850 dan digantikan oleh putranya Jayavarman III, yang memerintah hingga kematiannya pada 877. Sangat sedikit informasi yang bertahan tentang kedua raja ini. Mereka diikuti oleh Indravarman, yang memerintah 877-889 dan putranya Yasovarman I, yang memerintah dari 889 hingga sekitar 900.

Yasovarman I adalah raja pertama yang tinggal di situs Angkor yang sebenarnya, dan dikenal sebagai pembangun yang hebat. Dia membangun tempat-tempat suci di Angkor serta sekitar seratus biara di seluruh wilayah, masing-masing tampaknya berfungsi sebagai pos terdepan kerajaan di lokasi dimana ia berada.

Kematian Yasovarman diikuti oleh pemerintahan dua putranya. Pada tahun 920-an, saudara ipar Yasovarman yang dikenal sebagai Jayavarman IV, mengukuhkan dirinya sebagai raja di situs sekitar seratus kilometer timur laut Angkor.

Pada 940-an, Rajendravarman, yang diidentifikasi dalam silsilah sebagai keponakan dari Yasovarman dan Jayavarman IV, memperoleh kekuasaan dan tinggal di Angkor. Suryavarman I dikenal karena memperluas kewenangannya atas wilayah Lopburi di dataran rendah Chao Phraya di Thailand modern. Dia meninggal pada 1050 dan digantikan oleh salah satu putranya, Udayadityavarman II.

5. Kerajaan Pagan

Sejarah Pagan sebagai pemerintahan utama dimulai dengan pemerintahan Anawrahta, bertanggal dari 1044 hingga 1077. Ia terkenal karena penaklukannya, yang paling penting adalah Thaton pada 1057 yang menghasilkan pemasukan besar-besaran budaya Mon ke Pagan.

Salah satu hasil dari kegiatan Anawrahta di Burma dan semenanjung yang lebih rendah adalah membawa Pagan ke dalam jaringan perdagangan maritim yang menghubungkan pantai-pantai di sepanjang Teluk Bengal (Tarling, 1992: 165).

Raja Pagan kedua yang menonjol adalah Kyanzittha, yang memerintah dari tahun 1084 sampai tahun 1112. Pada masa Kyanzittha inilah Buddhisme Theravada ditanam di pusat kehidupan budaya Burma. Kyanzittha digantikan oleh seorang cucu, Alaungsithu, yang memerintah selama lebih dari setengah abad, hingga akhir 1160-an.

Kemudian digantikan Narapatisithu yang memerintah dari sekitar 1173 hingga 1211 adalah yang terakhir dari raja-raja penting Pagan. Pemerintahan Narapatisithu tampaknya merupakan masa kedamaian dan kemakmuran umum. Banyak kuil besar dan monumen lainnya dibangun. Seni, arsitektur, dan prasasti mencerminkan idiom Burman yang penuh percaya diri (Tarling, 1992: 167).

6. Kerajaan Ayutthaya

Inisiatif untuk membangun kerajaan baru di Ayutthaya dikaitkan dengan seorang pria dari keluarga pedagang Cina bernama U Thong yang berhasil menikah dengan keluarga penguasa Lopburi dan Suphanburi.

Pada tahun 1351, ia mendirikan Ayutthaya sebagai kerajaan Lopburi dan Suphanburi yang bersatu, mengambil nama Ramathibodi dan memerintah hingga kematiannya pada tahun 1369. Raja yang baru adalah Intharacha (memerintah tahun 1409-24) (Tarling, 1992: 170-171).

7. Kerajaan Sriwijaya

Perkembangan Sriwijaya sepertinya terkait langsung dengan perubahan pola perdagangan yang lebih menguntungkan daerah Selat Malaka.

Sriwijaya tampak berhasil memperluas pengaruhnya di Semenanjung Malaya sebagaimana terungkap lewat prasasti akhir abad ke-8 dari Ligor (sekarang Nahkon Si Thammarat, Thailand Selatan). Sayangnya, tidak diketahui secara pasti apakah kekuasaannya bersifat jangka panjang atau fenomena singkat belaka.

Bagaimanapun, asumsi mengenai keberadaan “imperium maritim”, setidaknya seputar abad-abad awal sejarah Sriwijaya, tidak bisa diputuskan sembarangan. Meski demikian, pentingnya perdagangan maritim tidak bisa diabaikan. Berbagai sumber membenarkan bahwa Sriwijaya pada dasarnya memang merupakan sebuah kerajaan dagang (Ricklefs, 2013: 45).

Tentang Sriwijaya, telah kami bahas dalam beberapa artikel di bawah ini:

8. Kerajaan Majapahit

Bangkitnya Majapahit sejak akhir abad ke-13 mengungkapkan bahwa pemukiman manusia pada saat itu telah mencapai tingkat yang cukup untuk memungkinkan otoritas politik untuk membuat logika medan yang tersedia. Baca: Majapahit kerajaan kuno terbesar

Pelabuhan-pelabuhan Jawa menjalin hubungan komersial dengan pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Maluku dan menarik para pedagang dari Gujarat.

Periode sekitar satu setengah abad ini umumnya disebut sebagai masa Kadiri, lebih dikenal perkembangan budaya dan komersial daripada peristiwa politik. Kadiri digulingkan pada tahun 1222 oleh seorang pria bernama Ken Arok. Kerajaan yang ia dirikan telah dikenang sebagai Singhasari, nama yang kemudian diberikan kepada ibu kotanya (Tarling, 1992: 178-179). Baca: Kerajaan Kediri dan rajanya

Raja Singhasari yang paling terkenal dan raja yang tampaknya pertama kali merasakan kemungkinan yang kemudian menjadi Majapahit adalah Kertanagara (memerintah tahun 1268-92). Kertanagara adalah pembangun kerajaan yang bercita-cita tinggi yang prestasinya merangsang kebangkitan Majapahit. Baca: Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit

Di dalam dirinya dapat dideteksi untuk pertama kalinya gagasan tentang kerajaan kepulauan besar yang diperintah oleh orang Jawa yang kemudian diungkapkan dalam istilah nusantara. Kertanagara dibunuh dan digantikan oleh pengikut pada tahun 1292, tetapi pada tahun berikutnya menantu lelakinya yang kemudian dikenal sebagai Kertarajasa, mendapatkan kendali dan mendirikan ibu kotanya di Majapahit.

Pemerintahan pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa (1293-1309) dan putranya Jayanagara (1309-28), tampaknya sebagian besar sibuk dengan pemberontakan yang menekan dan menyatakan kontrol militer atas Jawa bagian timur. Jayanagara meninggal tanpa pewaris laki-laki, sehingga tahta ditugaskan kepada seorang putri Kertanagara yang juga merupakan istri Kertarajasa.

Namun, dia tidak mengambil peran publik dan putri sulungnya dipilih untuk bertindak sebagai bupati atas namanya. Anak perempuan ini, pada tahun 1334, melahirkan seorang putra yang menjadi raja pada tahun 1350, yang disebut Rajasanagara atau Hayam Wuruk. Majapahit memudar dari pandangan ketika pemerintahan Muslim di pantai utara Jawa muncul dan mengambil inisiatif (Tarling, 1992: 179-180).

Baca juga: Kehidupan keagamaan dan kebudayaan Majapahit

9. Kerajaan Tarumanegara

Periode Kerajaan Tarumanegara muncul pada sekitar abad ke-5 M yang ditandai oleh kehadiran 7 buah prasasti yang ditemukan di sekitar Jawa Barat dengan rajanya yang terkenal yaitu Purnawarman. Namun kapan dan dimana tepatnya kerajaan ini berdiri belum dapat diketahui secara pasti.

Baca juga: Perkembangan Hindu Buddha di Tarumanegara

Salah satu temuan yang cukup menarik pada periode ini adalah votive tablet Buddha yang sezaman dengan votive tablet dari periode Dwarawati sekitar abad ke-6 atau 7 M. Namun, pembangunan kompleks candi bersifat Buddhistik hanya terkonsentrasi di daerah Batujaya saja, sedangkan di beberapa lokasi lainnya di Jawa Barat, Waisnawa dan Siwais lebih berkembang.

Seperti temuan kompleks candid an tiga arca Wisnu yang diduga berasal dari abad ke-5 M, di Situs Cibuaya, Candi Bojongmenje di Rancaekek dan Candi Cangkuang di Kabupateng Garut yang berdasarkan gaya arsitekturnya diduga berasal dari sekitar abad ke-7 M.

Periode abad ke-6-7 M, adalah puncak pertumbuhan agama Buddha di Batujaya yang tampak dari banyaknya bangunan stupa dan bangunan lainnya yang didirikan. Perkembangan buddhisme di wilayah ini seiring dengan tumbuhnya pusat ajaran Buddha di Sriwijaya.

Namun demikian, Buddhistik di Jawa Barat pengaruhnya sebatas di Pantai Utara Jawa Barat saja, kemungkinan karena tidak adanya dukungan secara politik mengingat penguasa Kerajaan Tarumanegara lebih memilih Hindu sebagai alat legitimasi kekuasaannya.

Disamping itu jika dikaitkan dengan Prasasti Kota Kapur yang menyebutkan tentang serangan Sriwijaya ke Jawa seringkali dikaitkan dengan keruntuhan Tarumanegara karena setelah abad ke-7 M kerajaan ini tidak terdengar lagi (Indradjaja, 2014).

Dalam website ini telah kami bahas ratusan artikel yang mengulas tentang kerajaan, silahkan kunjungi: Kumpulan Sejarah Kerajaan di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

  • Coedes, G. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. (Terj. Winarsih Partaningrat Arifin). Jakarta: Perpustakaan Populer Gramedia.
  • Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. (Terj. I.P. Soewarsha). Surabaya: Usaha Nasional.
  • Indradjaja, A. 2014. Awal Pengaruh Hindu Buddha di Nusantara. Jurnal Arekologi. 23 (01): 17-33.
  • Ricklefs, M.C. dkk. 2013. Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer. (Terj. Tim Komunitas Bambu). Jakarta: Komunitas Bambu.
  • Tarling, N. 1992. The Cambridge History Of Southeast Asia. USA: Cambridge University Press.

Penulis

NamaRia Mualimatul Ulum
StatusMahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Jember

Pos terkait