Tentang Zaman Upanisad – Sumber pokok bagi zaman ini terdapat pada kitab-kitab yang disebut Upanisad. Kata “Upanisad” itu berarti : duduk di bawah, yaitu duduk di bawah kaki guru, untuk mendengarkan ajaran Sang Guru.
Kemudian kata ini dipergunakan untuk menyebutkan ajaran Sang Guru tersebut, yaitu ajaran yang bersifat rahasia. Akhirnya kata itu dipergunakan untuk menyebutkan nama kitab-kitab yang memuat ajaran-ajaran rahasia tersebut.
Ada banyak kitab tersebut. Tak ada yang tahu jumlahnya dengan tepat, namun yang jelas ialah bahwa ada lebih dari 100 kitab Upanisad.
Ajaran yang terdapat di dalam kitab Upanisad merupakan reaksi golongan Ksatriya terhadap zaman Brahmana, di mana orang-orang memusatkan perhatiannya terhadap korban. Maka pada mulanya para Brahmana tidak menerima ajaran ini.
Tetapi kemudian ketika pada Ksatriya itu tersesat dalam perkara-perkara politik, dan pengaruh ajaran-ajaran itu makin meluas, para Brahmana menerimanya, bahkan mereka memonopoli ajaran itu sebagai ajaran yang tertinggi.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa pemikiran secara falsafi yang sebenarnya baru dimulai pada zaman Upanisad. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa ajaran dalam Upanisad itu sudah merupakan suatu sistem falsafi yang bulat dalam arti yang teknis.
Sebab kitab-kitab Upanisad itu belum juga menjadikan suatu kesatuan pikiran yang sistematis dan terkoordinir. Gagasan-gagasannya masih tersebar, sebagai hasil kerja banyak orang, sehingga kesatuannya terkadang masih belum nampak secara organis.
Yang jelas ialah bahwa yang menonjol di dalamnya adalah suatu ajaran yang monistis dan absolutis. Artinya bahwa kitab-kitab itu mengajarkan bahwa realitas yang tertinggi hanya satu saja. Realitas ini tidak tampak, bebas dari segala perhubungan, tetapi menyelami segala sesuatu. Realitas ini disebut Brahman.
Pada zaman Brahmana seperti yang telah kita bahas sebelumnya, Brahman ini sudah dianggap sebagai azas pertama dari semesta alam. Di dalam Upanisad ajaran ini dipikirkan dengan lebih mendalam.
Ada bermacam-macam berita tentang Brahmana ini. Pada satu pihak ada ucapan-ucapan yang mengemukakan Brahman ini sebagai dewa yang tertinggi yang lebih kuasa daripada dewa-dewa yang lain, yang menjadi dewa dari segala dewata atau Tuhan dari segala Tuhan.
Di dalam Kena Upanisad umpamanya ada ucapan-ucapan yang mengatakan bahwa dewa Agni dan Wayu itu tidak dapat berkutik tanpa Brahman. Mereka mendapatkan kuasanya untuk membakar atau untuk menghambur-hamburkan segala sesuatu itu daripada Brahman.
Tetapi dilain pihak ada juga ucapan-ucapan yang memandang para dewata itu sebagai penjelmaan Brahman. Di Taittiriya Upanisad umpamanya disebutkan bahwa dewa Mitra, Waruna, Aryaman, Indra, Brhaspati, Wisnu adalah Brahman yang tampak.
Demikianlah, di dalam Upanisad masih ada pandangan yang menganggap Brahmana sebagai dewa yang tertinggi, di samping dewa-dewa yang lain, atau dewa yang tertinggi yang menjelma pada dewa yang bermacam-macam itu.
Jadi pandangan ini masih berbau pandangan Weda kuno, yang memandang dewa sebagai sesuatu yang di luar kita dan di luar alam semesta, dewa yang transcendent.
Tetapi di samping pandangan yang demikian masih ada pandangan yang lebih menonjol lagi, yaitu bahwa Brahman yang transcendent itu juga Brahman yang immanent yang berada di dalam alam emesta dan di dalam diri kita manusia.
Di dalam Katha Upanisad umpamanya disebutkan bahwa Brahman itu sebagai anasir apai yang menjelmakan diri dalam bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan bahan yang dibakarnya.
Demikianlah Brahman yang berada di dalam segala yang tampak. Brahman itu sebagai pohon aswattha (ara) yang akarnya berada di atas, sedangkan dahan-dahannya berada di bawah, yaitu di dalam dunia ini. Dunia ini bersandar kepadanya dan tidak ada sesuatupun yang dapat mengatasinya.