Struktur sosial ekonomi – Secara garis besarnya, struktur dari kepadatan penduduk dan perbedaan ekologis, daerah Indonesia dapat dibagi atas 3 kelompok:
- Kelompok kependudukan padat: Jawa, Bali, Sumatra Barat dan Sulawesi selatan
- Kelompok kependudukan sedang: hampir seluruh Sumatra, Kalimantan, Sulawesi bagian tengah, utara dan tenggara, serta Nusa Tenggara.
- Kelompok kependudukan jarang: Maluku, Irian jaya dan pulau-pulau kecil di berbagai pelosok.
Kelihatan dari pembagian itu bahwa daerah yang padat adalah daerah persawahan dengan sistem pengairan yang cukup berkembang. Daerah yang berpenduduk jarang adalah daerah-daerah ladang, baik yang menetap maupun yang berpindah-pindah dengan tingkat teknologi yang belum tinggi.
Perbedaan Pertumbuhan Penduduk
Karena ketidaksamaan dalam cara menjawab tantangan alam, maka pertumbuhan penduduk untuk masing-masing daerah itu juga berbeda-beda. Seperti di Jawa, kenaikan jumlah dan kepadatan penduduk merupakan salah satu gejala sosial ekonomi yang telah terjadi selama masa kolonial.
Pada permulaan abad ke 19 penduduk Jawa hanya kira kira 5 juta jiwa, sedangkan menurut sensus tahun 1930 menjadi 40 juta jiwa, penduduk Indonesia seluruhnya berjumlah 60,7 juta jiwa.
Pertumbuhan penduduk yang cepat, tidaklah semata-mata tergantung pada masalah ekonomi dan alamiah serta perkembangan teknologi pertanian saja, tetapi juga pada faktor-faktor sosial ekonomi lainnya seperti kesehatan, keamanan, extensifikasi pertanian dan intensifikasi pertanian, proses migrasi ekstern dan intern, dan sudah tentu juga pada perbandingan antara angka kelahiran dan angka kematian.
Dari sensus tahun 1930 tingkat kepadatan dan kenaikan jumlah penduduk tidaklah merata, malah kelihatan sangatlah timpang sekali bila diukur dengan luasnya Indonesia.sebagai contoh berdasarkan sensus tahun 1930, kepadatan penduduk Indonesia ialah 31,9 jiwa per kilometer persegi di Jawa ada 316,1 an di luar Jawa 10,7. Perbandingan lain : di Maluku 1,8 jiwa per kilometer persegi sedangkan di daerah Bukittinggi 117,1 dan Bandung 671.
Umumnya masyarakat desa adalah petani. Karena itu masyarakat juga mempunyai ciri-ciri masyarakat tani. Tingkat kehidupan mereka tergantung pada tanah yang mereka miliki dan cara pengolahannya. Bertambahnya penduduk menyebabkan luas daerah yang dimiliki setiap orang bertambah kecil, sebab telah dibagi pada setiap keturunan baru.
Bahkan akhirnya banyak yang tidak mempunyai karawang pada tahun-tahun pertama abad ini, tetapi biasanya pembukaan tanah oleh penduduk kurang memperhitungkan berbagai hal seperti pentingnya peranan hutan untuk mencegah bahaya erosi.
Baca juga: Politik kolonial pada peralihan abad ke 1920 di Indonesia
Ekonomi Barat Masuk Pedesaan
Pada peralihan abad ini penetrasi (penerobosan) ekonomi barat telah masuk sampai ke desa desa. Munculnya perkebunan perkebunan buruh besar menyebabkan tanah pertanian dan irigasi diperluas dan sejalan dengan itu ditingkatkannya cara cara pertanian.
Sebaliknya juga banyak tanah pertanian rakyat yaitu sawah dan tegalan dibeli atau disewa oleh perusahaan. Akibatnya tanah petani yang sudah kecil itu makin sedikit. Sedangkan petani petani penyewa dan petani tak punya tanah bertambah banyak.
Tetapi jumlah petani kaya, yang juga berfungsi sebagai tuan tanah makin bertambah. Karena mereka membeli tanah yang dijual oleh mereka yang mengalami kesulitan uang untuk membayar pajak.
Dan juga Karena penjualan tanah yang tadinya dimiliki oleh orang asing.hal ini terutama dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. Untuk nafkahnya para petani terpaksa hidup dan bekerja di perkebunan dan perusahaan industri dengan upah yang rendah.
Jelas bahwa pertambahan penduduk dan meluasnya penerobosan ekonomi barat malah menambah merosotnya kemakmuran dan menyebabkan pembagian golongan masyarakat berdasarkan pemilikan tanah, terutama di Jawa. Hal ini tentu merubah struktur penduduk dan mempengaruhi pula tingkat kemakmuran begitupun corak pergaulan masyarakat.
Baca juga: Penyebaran Pengajaran dan Mobilitas Sosial
Perluasan Diferensiasi Kerja
Sehubungan dengan terjadinya peristiwa sosial ekonomi tersebut di atas, terjadi pula perluasan diferensiasi kerja. Jumlah dan jenis pekerjaan bertambah banyak terutama di kota-kota.
Orang tidak hanya dapat bekerja sebagai tani dan karyawan perkebunan, tetapi juga sebagai karyawan kantor-kantor dagang, perhubungan (bis dan kereta api), industri-industri dan bermacam macam jenis tukang yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian orang mulai terlepas dari keterikatan pada pemilik tanah, sehingga mengurangi himpitan sosial di pedesaan terutama di Jawa. Disamping itu hal itu juga mempengaruhi kecepatan mobilitas sosial dari masyarakat pedesaan. Di beberapa tempat seperti Sumatra barat kategori adat sebagai satu satunya dasar nilai bagi pelapisan masyarakat harus ditinjau.
Di dalam masyarakat mulai tumbuh suatu golongan baru yaitu golongan buruh yang hidupnya tergantung dari gaji yang mereka terima. Dengan demikian bentuk ekonomi uang mulai dikenal di pedesaan. Semakin kuatnya pengaruh ekonomi uang menyebabkan lambung bagi status sosial.
Hal ini diperkuat dengan meluasnya pengajaran yang menimbulkan konflik terutama dengan golongan yang kuat mempertahankan tradisi. Namun jelas pelebaran jenis kerja dan terbukanya kemungkinan-kemungkinan lebih luas untuk mencari rezeki. Merupakan salah satu gejala dinamis di dalam masyarakat seiring dengan itu urbanisasi pun muncul.
Di dalam proses pelebaran ditferensiasi kerja di samping memperkenalkan penyewaan jasa dan tenaga kepada berbagai jenis usaha dan lembaga. Di dapat pula proses makin bertambahnya pengusaha merdeka.mereka ada yang menjadi pedagang kecil, pengusaha industri kecil dan sebagainya, tetap ada juga pengusaha pribumi yang sanggup mengaji cukup banyak buruh.
Meskipun dalam perkembangannya harus menghadapi persaingan dengan pengusaha keturunan cina, namun kelompok itu selalu bertambah. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa aspek-aspek tertentu dari pergerakan nasional juga berkaitan dengan mulai bangkitnya pengusaha merdeka ini. Umpamanya terlihat sebagai salah satu sebab timbulnya sarekat islam.
Pertumbuhan Penduduk dan Lapangan Kerja Tidak Seimbang
Tidak ada keseimbangan antara bertambahnya penduduk dengan tersedianya tanah bertambahnya lapangan kerja baiknya keamanan dan lancarnya komunikasi mendorong terjadinya transmigrasi dan urbanisasi.
Adapun perpindahan penduduk di sebabkan oleh beberapa sebab seperti ekonomi, politik, sosial budaya, dan tradisi.
Perpindahan karena berapa sebab tersebut sejak awal abad ini menunjukkan seolah-olah sedang terjadi semacam mobilitas geografis. Begitulah berdasarkan sensus tahun 1930, kira kira 6,6 juta dari 60,7 juta penduduk Indonesia berada diluar daerah kelahirannya.
Perpindahan penduduk yang paling besar terutama terjadi karena sebab ekonomi dan sosial, dan terjadi di pulau Jawa sejak permulaan abad ini, baik dalam bentuk transmigrasi extern maupun intern. Dalam bentuk transmigrasi intern ialah pindahnya orang orang dari Jawa Tengah atau Madura ke ujung pulau Jawa.
Demikian besarnya proses migrasi orang Madura ini sehingga pada tahun 1930 diperkirakan 55% dari penduduk suku Madura atau diluar pulau itu.
Transmigrasi Extern
Transmigrasi extern ialah pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke Sumatra. Kebanyakan transmigrasi ini di bantu oleh pemerintah dan sasaran yang utama ialah lampung dan Sumatra timur untuk menjadi petani dan buruh.
Perhatian pemerintah untuk mulai pelaksanaan transmigrasi sebagai salah satu bagian dari politik etis adalah karena laporan tentang kemiskinan penduduk daerah kebumen (Jawa Tengah).
Pelaksanaan dilakukan pada tahun 1905 dengan mengirim 155 kepala keluarga ke lampung. Sampai tahun 20an pelaksanaan transmigrasi dari jawa ke Sumatra berjalan tidak begitu lancar. Hal ini disebabkan oleh cara pengaturannya yang kurang baik.
Cerita-cerita menyedihkan tentang nasib mereka oleh para transmigran yang kembali dan adanya praktek praktek yang membujuk petani petani miskin pergi ke Deli yang digambarkan sebagai sumber uang yang berlimpah limpah.
Baru setelah tahun 1930 setelah diadakan perbaikan pelaksanaan, seperti seleksi terhadap calon transmigran, sistem administrasi, kesehatan, penelitian daerah tujuan, transmigrasi berjalan dengan pesat dan setiap tahun bertambah. tahun 1932 ada 7.000 jiwa yang di transmigrasi, tahun 1937 naik jadi 32.000 jiwa.
Transmigrasi karena sebab politik, budaya dan tradisi, pada umumnya bersifat spontan dan tidak di bantu pemerintah, baik secara perseorangan maupun kelompok. Transmigrasi karena tradisi dijumpai dari Minangkabau biasanya secara perseorangan dengan tujuan bekerja sebagai pedagang atau tukang.
Migrasi karena faktor budaya terutama adalah karena keinginan untuk menuntut ilmu pada pendidikan menengah dan tinggi. Dilakukan oleh penduduk di luar jawa ke kota kota di Jawa.
Terjadi transmigrasi spontan dari luar jawa ke jawa yang jumlahnya juga cukup besar, menyebabkan tujuan pemerintah untuk memindahkan sebagian besar penduduk pulau Jawa, menjadi agar ironis. Tetapi jelas ada keuntungan yang lebih positif dari migrasi yang terjadi pada pergerakan nasional tersebut.
Sebab dengan terjadinya mobilitas geografis, terwujud pula hubungan yang lebih erat antar beberapa daerah dan dengan terbukanya komunikasi antara mereka maka salah satu benih dari tumbuhnya nasionalisme Indonesia tercipta.