Pada prinsipnya orang Minangkabau menganut agama Islam. Maka bila ada orang Minangkabau yang tidak memeluk agama Islam adalah suatu keganjilan yang mengherankan, walaupun kenyataannya ada sebagian yang tidak patuh menjalankan syari’at-syari’atnya.
Disampung meyakini kebenaran ajaran-ajaran Islam, sebagian dari mereka masih percaya adanya hal-hal bersifat takhayul dan magis, misalnya: hantu-hantu jahat, kuntilanak, tenung (menggasing) dsb. Untuk menolak kejahatan makhluk halus itu orang biasanya pergi ke dukun.
Dahulu ada upacara selamatan yang bermacam-macam, seperti : tabuik (peringatan Hasan Husein), khitan, katam mengaji, dan upacara dalam rangka lingkaran hidup manusia dari lahir sampai mati. Misalnya : kekah, tedak siten, selamatan kematian pada hari ke-7 sampai dengan hari ke-100.
Karena kuatnya pengaruh adat-istiadat, maka dalam praktek kehidupan beragama di dalam masyarakat banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Maka timbullah gerakan kaum muda yang baru datang dari Mekah yang membawa pengaruh wahabi untuk membersihkan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Akhirnya timbullah pertentangan yang hebat antara kaum adat yang ingin tetap bertahan pada adatnya dengan kaum paderi yang ingin membersihkan ajaran Islam dari pengaruh adat yang menyimpang dari ajaran Islam.
Pertentangan itu kemudian pecah menjadi perang terbuka yang semakin meluas karena ditunggangi oleh penjajah Belanda, yang kala itu mulai ingin menanamkan kekuasaannya di Sumatera Barat.
Itulah awal dari pecahnya Perang Paderi yang berlangsung cukup lama, mulai tahun 1825 sampai 1837 dengan tokoh utama yang disegani, yaitu Tuanku Imam Bonjol dari daerah Bonjol.
Selanjutnya baca artikel: Adat Koto Piliang