Bagi masyarakat Aceh, perkawinan adalah suatu keharusan yang ditetapkan oleh agama Islam. Karena itu setiap orang pria maupun wanita yang telah dewasa diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya.
Dalam mencari dan menetapkan jodoh membutuhkan syarat-syarat, antara lain :
- Mencari jodoh itu adalah pihak orang tua masing-masing.
- Pemilihan jodoh berdasarkan keturunan dan fungsi sosial dari keluarga si gadis dan pria (sedapat mungkin seimbang segalanya).
Setelah utusan pihak si pria (seulangke) diterima, selanjutnya diadakan pertunangan dengan pemberian tanda ikatan atau yang disebut kongnarit, yang biasanya berupa emas dan diberikan kepada pihak wanita.
Menjelang pernikahan, akan ditetapkan besarnya mas kawin (jeunamee) oleh orang tua si gadis, yaitu berkisar antara 50-100 gram emas. Setelah penentuan selesai, selang beberapa bulan baru diadakan pernikahan resmi secara besar-besaran.
Setelah kawin, suami harus tinggal di rumah isteri (matrilokal) sampai keduanya dibuatkan rumah dan diberi tanah garapan oleh orang tua si gadis. Pemberian ini di sebut “peunulang”.
Dalam masyarakat Aceh, perceraian jarang sekali terjadi, tetapi kawin poligini (seorang suami memiliki beberapa isteri sekaligus) biasa terjadi
Dalam kelompok kekerabatan berlaku sistem bilateral, tetapi ibu punya peranan yang besar dalam rumah tangga. Mereka bekerja di sawah, di kebun atau berdagang secara aktif dan tidak lekas tunduk kepada suami.
Kadang-kadang ibu lebih ditakuti oleh anak-anak daripada ayah. Hal ini karena warisan sejarah masa lampau di mana wanita Aceh banyak yang menjadi pahlawan pemberani dan yang menjadi ratu Aceh (Safiatuddin).
Lalu bagaimana sistem kemasyarakatannya? Silahkan baca di artikel Sistem kemasyarakatan Suku Aceh
Jika ingin tahu seberapa luas wilayah Aceh, silahkan baca: Peta Aceh Lengkap
Kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga batih. Dalam 1 rumah kadang-kadang terdapat beberapa keluarga batih, karena anak-anak dan menantu masih berkumpul.