Satu rumah biasanya dihuni oleh satu keluarga batih yang jumlahnya rata-rata 4 orang, kadang-kadang juga merupakan keluarga luas. Seorang kepala keluarga batih tercatat dalam buku gereja yang juga sebagai buku register desa dengan nama-nama Kristen.
Orang-orang Bgu mendapat nama keluarga dari ayahnya. Kalau ayahnya bernama Huber Bagre, maka anaknya juga mendapat nama Bagre, misalnya Wempi Bagre.
Dengan demikian maka masyarakat di situ seolah-olah berbentuk klen-klen patrilineal yang kecil yang disebut fam. Istilah fam dibawa masuk ke Irian oleh guru-guru agama Kristen dari Ambon.
Sebelum guru-guru agama Katolik masuk, sistem kekerabatan di Irian Jaya disebut auwet yang juga bersistem patrilineal. Kelompok-kelompok kekerabatan itu punya nama-nama khusus seperti Sedot, Bagre, atau Dansidan.
Adat perkawinan adalah virilokal yang mewajibkan si istri untuk tinggal di rumah keluarga suami. Tiap-tiap auwet memiliki rumah suci yang disebut nar, tempat menyimpan benda-benda suci, diantaranya yang terpenting adalah seruling-seruling suci.
Bila seseorang akan berumah tangga, harus mengumpulkan sejumlah mas kawin (krae) yang terdiri dari rangkaian kerang dengan hiasan kerang besar bundar yang disebut sebkos (bulan), sebuah kalung dari rangkaian gigi-gigi anjing (kdarf), perabot dapur, ikat pinggang dari manik (biten), tali kulit kayu (weimoki), makanan dalam kaleng dan ditambah dengan sejumlah uang. Karena banyaknya ragam mas kawin itu, kadang-kadang saudara-saudaranya ikut membantu pula.
Ingin tahu kepercayaan penduduk Irian? Silahkan baca selanjutnya di artikel : Kepercayaan penduduk pantai utara Irian Jaya
Keluarga batih pada umumnya bersifat monogami, tetapi juga ada yang melakukan poligini sebagai akibat dari perkawinan levirat atau karena si isteri tidak mendatangkan keturunan.