Jika anda telah membaca artikel 7 Satrio Piningit ramalan Jayabaya mungkin ada yang bertanya-tanya apa itu ramalan Jayabaya? Untuk kalangan masyarakat Jawa ini bukanlah hal yang asing, tetapi bagi yang bukan orang Jawa menjadi satu pertanyaan. Untuk itu, semoga pada posting ini akan menjawab pertanyaan anda mengenai siapa sosok Prabu Jayabaya beserta ramalannya.
Tentang Ramalan Jayabaya
Pernahkah anda mendengar tentang Jangka Jayabaya alias Ramalan Jayabaya? Saya yakin, tentunya ini tak asing lagi dengan ramalan superdahsyat tentang masa depan Indonesia ini.
Setidaknya, meski kita tidak mengetahui dengan jelas isi dan makna Jangka Jayabaya serta relevansinya bagi perkembangan Indonesia, kita pasti pernah mendengar orang-orang Jawa dahulu mengutip salah satu dari ramalan dalam Jangka Jayabaya ketika terjadi suatu peristiwa besar di bumi nusantara ini.
Misalnya ketika bencana datang silih berganti, ada sebagian orang yang mengatakan bahwa bencana itu sudah diramalkan oleh Jayabaya dalam Jangka Jayabaya. Benarkah demikian?
Ada satu hal yang harus kita ketahui terlebih dahulu. Apa itu? Yaitu tentang sosok Prabu Jayabaya, si empunya Jangka Jayabaya. Siapakah sebenarnya Jayabaya itu?
Jayabaya adalah raja terbesar dari Kerajaan Panjalu atau Kadiri yang sekarang disebut Kediri. Ia memerintah dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi. Namanya selalu dikaitkan dengan Jangka Jayabaya, yang berisi ramalan-ramalan tentang nasib Pulau Jawa.
Kemasyhuran Jayabaya
Keberhasilan dan kemasyhuran Raja Jayabaya dapat dilihat dari hasil sastra pada masa pemerintahannya. Atas perintahnya, pujangga-pujangga keraton berhasil menyusun kitab Bharatayudha. Kitab Bharatayudha ditulis oleh Empu Sedah dan diselesaikan oleh Empu Panuluh. Kitab itu dimaksudkan untuk mengabadikan kebesaran raja dan memperingati kemenangan-kemenangan Raja Jayabaya.
Jayabaya bukan hanya seorang raja yang baik dan masyhur, namun juga ahli perbintangan. Dengan kata lain, Jayabaya adalah seorang peramal ulung. Hal itu terlihat dari ucapan-ucapannya tentang pulau Jawa (Indonesia) di masa depan yang terkumpul dalam Jangka Jayabaya.
Ia meramal peristiwa yang akan terjadi di Pulau Jawa hingga tahun 2074 tahun Jawa. Ramalan itu sendiri dibuat ketika sang Prabu Jayabaya berdiam di Gunung Wilis. Hingga saat ini banyak orang yang percaya bahwa ramalannya mengandung kebenaran. Oleh karena itu oleh orang Jawa beliau sangat dihormati.
Sebagai maharaja yang berhasil membawa Kediri pada puncak kejayaan atau zaman keemasan, Jayabaya kemudian diberi gelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Baca juga: 48 silsilah Jayabaya Kediri
Prasasti Hantang
Bukti sejarah yang menerangkan masa kejayaan Kediri di bawah kekuasaan Jayabaya diantaranya berupa prasasti Hantang tahun 1135, prasasti Talan tahun 1136, prasasti Jepun tahun 1144, serta Kakawin Bharatayuddha tahun 1157.
Pada prasasti Hantang, atau biasa disebut prasasti Ngantang terdapat semboyan “Panjalu Jayati”, yang berarti Panjalau (Kediri) yang menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia kepada Kediri selama perang melawan Jenggala.
Prasasti ini menguraikan tentang kemenangan Panjalu terhadap Jenggalapada zaman pemerintahan Raja Jayabaya. Ungkapan Panjalu Jayati dalam prasasti Ngantang tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali kemenangan Panjalu atas Jenggala.
Sebab, pada waktu itu, dua kerajaan tersebut bersaing dan berusaha saling menghancurkan. Berkat kesetiaannya kepada Sang Prabu, penduduk Ngantang mendapat hadiah tanah perdikan dengan hak-hak istimewa.
Prof. Sutjipto Wirjosuparto mengaitkan prasasti Ngantang dengan karya sastra Bharatayudha dalam karyanya Kakawin Bharatayudha. Ia mengatakan bahwa anugerah tanah perdikan Ngantang itu bertalian dengan kemenangan Jayabaya dalam peperangan melawan kakaknya yang dalam Kakawin Bharatayudha disebut Hemabhupati.
Dengan bangga ia mengatakan bahwa baru dalam tesisnya tentang Gatotkacasraya, hubungan perang yang diadakan oleh Jayabaya dan Hemabhupati atau kakak Raja Jayabaya diuraikan panjang lebar.
Pada dasarnya, uraiannya tidak lain merupakan tafsiran gelar atau sebutan Hemabhupati. Gelar tersebut mengandung unsur hema yang berarti mas. Dalam bahasa Jawa, masih ada beberapa gelar atau sebutan yang mengandung unsur mas, seperti kakangmas, adimas, ratu mas, dan lain-lain.
Diantara sebutan yang masih ada itu, Prof. Sutjipto Wirjosuparto memilih kakangmas. Demikian Prof Sutjipto Wirjosuparto menafsirkan sebutan Hemabhupati itu kakak Jayabaya. Karena Jayabaya berhasil mengalahkan kakaknya, maka ia berhasil merebut kekuasaan dan menjadi raja di Panjalu.
Dengan demikian, dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Jenggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri. Kemenangannya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam Kakawin Baratayudha yang digubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh pada tahun 1157.
Prasasti Talam
Sedangkan prasasti Talam memuat keterangan bahwa penduduk Desa Talan yang termasuk wilayah Panumbangan menghadap raja dan memperlihatkan prasasti di atas daun lontar dengan cap Kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Batara Guru pada tahun 961 Saka (27 Pebruari 1040 Masehi).
Prasasti tersebut menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban membayar berbagai macam pajak. Mereka memohon agar prasasti itu dipindahkan ke atas batu dan ditambahi anugerah Raja Jayabaya sendiri.
Karena penduduk Desa Talan telah memperlihatkan kesetiaannya yang amat besar kepada raja, permohonan tersebut dikabulkan. Oleh karena itu, di pindahkanlah prasasti itu ke atas batu dengan cap Kerajaan Narasingha, dan Raja Jayabaya menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.
Sayangnya tidak dijelaskan di dalam prasasti apa jasa-jasa rakyat Desa Talan terhadap Bhatara Guru, yaitu Airlangga, dan terhadap raja Jayabaya. Yang jelas, prasasti Talan menjadi salah satu bukti kekuasaan Jayabaya di Kediri.
Semua pihak berpendapat bahwa Prabu Jayabaya sangatlah bijak dan kuat tirakatnya dalam mengemban tugas negara. Salah satu contohnya adalah ketika dihadapkan pada persoalan negara. Untuk memecahkan persoalan negara yang pelik tersebut, sang Prabu disertai oleh permaisuri Ratu Pagedhongan, disertai pula oleh beberapa menteri terkait, melakukan perenungan di Padepokan Mamenang, memohon petunjuk Gusti.
Perenungan bisa berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan sebulan, sampai mendapatkan jawaban atau petunjuk dari Dewata Agung mengenai langkah yang harus dilakukan demi kebaikan kawula dan negara.
Selama masa perenungan di Mamenang, raja dan ratu hanya menyantap sedikit kunyit dan temulawak (3 buah sebesar jari telunjuk), serta minum secangkir air putih segar yang langsung diambil dari mata air, sehari cukup 2 atau 3 kali. Sedangkan para menteri hanya menyantap semangkuk bubur jagung dan secangkir air putih setiap waktu makan.
SDetelah mendapatkan jawaban atau petunjuk/solusi, raja dan rombongan kembali ke istana di Kediri. Kemudian di istana diadakan Pasewakan Agung, rapat kerajaan yang dipimpin oleh raja. Di kesempatan tersebut, raja mengumumkan kebijakan yang diambil kerajaan dan mesti dijalankan serta ditaati seluruh pejabat kerajaan maupun kawula.
Apa yang telah diputuskan dan diucapkan oleh raja di depan rapat itu disebut “Sabdo Pandito Ratu” atau “Sabdo Brahmono Rojo”, harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak, termasuk raja sendiri.
Jadi, seorang raja atau pemimpin itu harus memenuhi janji, apa yang diucapkan harus ditepati, tidak boleh mencla-mencle atau ingkar janji.
Baca juga: Jayabaya dan Kerajaan Kediri