Seni pertunjukan zaman praaksara – Pada msa praaksara, wayang atau pertunjukan bayang-bayang telah dilakukan sebagai salah satu media penghubung antara manusia dan roh nenek moyang. Orang yang mementaskannya disebut saman.
Mula-mula, bentuknya sangat sederhana dan dilakukan pada malam hari, memanfaatkan cahaya bulan untuk memperoleh efek bayangan. Bayang-bayang atau wewayangan yang diperoleh dianggap sebagai perwujudan arwah nenek moyang yang ingin mereka hubungi untuk dimintai petunjuk tentang banyak hal.
Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, pertunjukan wayang disesuaikan dengan pola pertunjukan yang sudah ada, sekaligus menjadi media yang efektif untuk menyebarkan agama Hindu. Pertunjukan wayang menggunakan kisah-kisah kepahlawanan dari Kitab Ramayana dan Mahabharata.
Melihat wayang begitu digemari masyarakat, para Wali sanga kemudian menggunakannya sebagai media penyebaran agama Islam. Seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga, selengkapnya silahkan baca : Sunan Kalijaga ahli dalam berbagai bidang seni
Pertunjukan yang menampilkan Tuhan atau Dewa dalam wujud manusia dilarang, dan muncullah boneka wayang yang terbuat dari kulit. Oleh karena itu disebut wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit biasanya diiringi dengan gamelan yang berfungsi sebagai penghidup cerita, dan wayang dimainkan oleh seorang dalang.
Di antara para 9 Wali sanga yang memperkaya khasanah pertunjukan wayang adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Mereka menggubah lagu dan menciptakan gending atau lagu yang dinyanyikan dengan diiringi dengan gamelan.
Pertunjukan wayang masih dapat kita saksikan hingga sekarang, bahkan banyak bangsa Barat yang memperdalam ilmu pewayangan, khususnya di ISI Surakarta, Jawa Tengah.
Contoh lain akulturasi dalam hal seni pertunjukan adalah seni tari. Seni tari berawal dari kebiasaan masa praaksara, yaitu dalam upacara religi masyarakat yag menganut masa animisme dan dinamisme. Seni tari berkembang pesat dan menjadi bagian dari ritual masyarakat hindu, yang mempercayai bahwa Dewa Siwa telah menciptakan dunia dengan menari.
Karena itulah, di wilayah-wilayah Indonesia yang pengaruh Hindunya kuat, gerak tariannya lebih rumit dan penuh dengan gerakan simbolis yang bersifat religius.
Sebagai agama yang datang kemudian, Islam mulai masuk ke Kepulauan Nusantara ketika tarian asli dan tarian khas Hindu-Buddha masih populer. Karenanya, seniman dan penari masih menggunakan gaya dari era sebelumnya, namun kisah cerita lebih bernafaskan Islam.
Gaya busananya pun lebih tertutup sesuai dengan ajaran Islam. Pergantian ini sangat jelas dalam Tari Persembahan dari Jambi. Penari masih dihiasi perhiasan emas yang rumit dan kaya seperti pada masa Hindu-Buddha, tetapi pakaiannya lebih tertutup sesuai etika kesopanan berbusana dalam ajaran Islam.
Tari Zapin (Melayu) dan Tari Saman atau Seudati (Aceh) menerapkan gaya tari dan musik bernuansa Arabia dan Persia, dan digabungkan dengan gaya tarian lokal.