Hukum adat Tawan Karang di Bali – Pada abad ke-19 di Bali banyak terdapat kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Raja-raja di Bali membuat kesepakatan hukum adat yang disebut Tawan Karang. Hukum ini berlaku apabila tiap kapal asing yang terdampar, kapal beserta isinya menjadi hak milik penguasa Bali.
Pada tahun 1844, kapal Belanda terdampar di Pantai Sangsit yang termasuk wilayah Kerajaan Buleleng. Kapal dan isinya ditawan. Belanda kemudian mengirim asisten residen dari Banyuwangi yang bernama Ravia de Lignij untuk membuat perjanjian penghapusan hukum Tawan Karang dan pengakuan terhadap kekuasaan Belanda.
Namun, raja I Gusti Ngurah Made dan Patih I Gusti Jelantik Gungsir menolak. Terjadilah pertempuran antara Belanda mengerahkan segenap pasukan. Belanda mengirimkan pasukan sebanyak 3 kali, yaitu tahun 1846, 1848, dan 1849.
Pada tahun 1849, rakyat Bali di bawah pimpinan I Gusti Jelantik melakukan perang puputan (habis-habisan). Tahun 1906, Belanda menyerang dan menguasai Kerajaan Badung yang masih melaksanakan hukum adat Tawan Karang.
Raja dan rakyat Kerajaan Badung yang berpakaian serba putih dengan menggunakan senjata seadanya melakukan pertempuran habis-habisan melawan Belanda.
Demikian pembahasan Sekilas tentang hukum adat Tawan Karang, baca juga perjuangan rakyat dalam melawan penjajah Belanda pada artikel sejarah Puputan Margarana Bali. Semoga menambah catatan sejarah nasional kita.