Nefo Oldefo – Pada masa Demokrasi terpimpin kebijaksanaan politik luar negeri banyak terpusat di tangan di tangan Presiden Soekarno sendiri. Politik bebas-aktif dibelokkan menjadi politik konfrontasi terhadap apa yang disebut “Old Established Forces” (Oldefo) bersama-sama dengan “New Emerging Forces” (Nefo).
Konsepsi Nefo Oldefo dan Konfrontasi Malaysia
Nampak bahwa konsepsi Nefo-Oldefo ini adalah sejajar dengan doktrin “dua buku” kaum komunis. Dan memang negara-negara maupun golongan-golongan yang oleh Presiden Soekarno dimasukkan ke dalam kelompok Nefo adalah kurang lebih sama dengan yang oleh blok komunis dimasukkan ke dalam kelompok komunis dan “progresif”.
Sedangkan yang masuk Oldefo adalah kurang lebih sama dengan yang masuk blok kapitalis imperialis “reaksioner” Barat bersama pihak-pihak yang bersimpati kepada mereka.
Hubungan dengan pihak Barat merenggang, karena mereka bersikap pasif terhadap perjuangan pembebasan Irian. Sebaliknya hubungan dengan blok Timur semakin erat, karena Uni Soviet bersedia memberi kredit dalam pembelian peralatan militer, sehingga Indonesia dapat memperlengkapi angkatan perangnya secara modern.
Sekalipun wilayah Irian akhirnya berhasil kita kuasai, politik konfrontasi berjalan terus. Sasarannya adalah pembentukan Federasi Malaysia yaitu penggabungan antara negara-negara bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yang terdiri atas Persatuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak, yang oleh Presiden Soekarno dianggap membahayakan Indonesia dan Nefo pada umumnya.
Dalam kenyataannya Malaysia sebagai negara yang rakyatnya pada umumnya serumpun dan seagama dengan Indonesia, tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap kita. Lagi pula mereka juga tidak ingin menjadi boneka Neo-Kolonialisme/Imperialisme atau disingkat Nekolim (referensi) seperti yang dikatakan oleh Presiden Soekarno.
Sebaliknya yang untung karena konfrontasi itu adalah Republik Rakyat Cina (RRC) yang memang tidak menyukai pemimpin-pemimpin Malaysia dan sebaliknya mendukung pemberontakan Cina komunitas di negara tetangga itu.
Dwikora Presiden Soekarno
Dalam rangka konfrontasi itu pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), yakni:
- Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia.
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat rakyat Malaysia, Singapura, Sabah, Serawak, Brunei, untuk membubarkan negara boneka Malaysia.
Untuk melaksanakan politik konfrontasi terhadap Malaysia itu bentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga) di bawah pimpinan Marsekal Madya Omar Dani, Menteri/Panglima Angkatan Udara (yang kemudian terlibat di dalam pemberontakan Gestapu/PKI).
Komando ini mengirimkan pasukan sukarelawan memasuki daerah Malaysia, baik di Malaysia Barat maupun di Malaysia Timur (Kalimantan Utara).
Aspek lain dari pelaksanaan politik Nefo-Oldefo ini kita kenal dengan politik “mercusuar”. Presiden Soekarno berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Karena itu, Indonesia harus menyelenggarakan proyek-proyek politis yang kolosal dan spektakuler, yang diharapkan dapat menempatkan kita pada kedudukan terkemuka di kalangan Nefo.
Misalnya dengan menelan biaya beberapa milyar rupiah diselenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) yang dimulai dengan pembangunan kompleks olahraga Senayan dan meliputi pula biaya perjalanan dipelbagai delegasi asing.
Perekonomian Indonesia Terabaikan
Ekonomi Indonesia yang sudah berantakan itu sama sekali tidak mampu membiayai proyek-proyek itu dan kegiatan pemerintah mencetak uang kertas tanpa batas dan tanpa dukungan apa-apa, menyebabkan inflasi sudah tak dapat dikendalikan lagi. Akibatnya ialah bahwa rakyat kecil tertimpa bencana karena uang dikantongnya nilainya merosot dengan pesat.
Baca selengkapnya Penyebab pokok kegagalan ekonomi terpimpin
Pengiriman delegasi-delegasi besar ke pelbagai negara maupun mendatangkan delegasi-delegasi asing atas biaya kita, juga tambah merusak keuangan negara.
Demikian pula pembangunan pabrik-pabrik dilakukan tanpa perencanaan yang matang baik mengenai letak maupun pembiayaan, sehingga usaha itu macet di tengah jalan dan banyak perlengkapan menjadi besi tua.
Jelas bahwa politik luar negeri mercusuar mengorbankan kepentingan nasional, padahal politik luar negeri seharusnya mendukung kepentingan rakyat, mendukung pembangunan nasional untuk masa depan kita semuanya.