Perkembangan Hindu Buddha di Kerajaan Sriwijaya – Pada permulaan abad ke-6, pusat perniagaan Asia Tenggara adalah Oc Eo, ibukota Kerajaan Fun-nan, yang terletak di daerah Kamboja. Fu-nan menguasai hubungan lautan di Asia Tenggara pada abad ke-6.
Kapal-kapal dari India berlabuh di daerah Kedah dan membongkar muatan. Melalui Tanah Genting Kra barang-barang diangkut oleh kafilah. Di Teluk Siam barang-barang dinaikkan lagi ke kapal, kemudian menuju Oc Eo. Dengan demikian, perjalanan melalui laut yang berbahaya menjadi pendek.
Kapal-kapal dagang dari India yang menuju Indonesia berlayar menyusuri pantai barat Sumatra melalui Selat Sunda dan singgah di Kerajaan Tarumanegara. Dari sana berlayar melalui laut Jawa, kemudian berbelok ke Selat Makasar, singgah di Makasar dan Kerajaan Kutai, terus menuju Filipina.
Pada tahun 539 Masehi terjadi perpindahan bangsa Khmer yang berkuasa di Kamboja dari utara menyerbu Fu-nan. Kerajaan Fu-nan pun runtuh. Oleh karena bangsa Khmer berasal dari daerah pegunungan, mereka tidak mementingkan perniagaan melalui laut. Maka perniagaan di Oc Eo pun menjadi mati.
Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
Sekitar tahun 650 Masehi, muncullah Melayu (di daerah Jambi, Sumatra) sebagai pusat perniagaan. Hal itu tidak mengherankan, oleh karena letak Melayu pada waktu itu berada di tepi pantai dan dekat dengan Selat Malaka, sedang di depannya terdapat daratan pulau-pulau kecil yang melindungi perairan Melayu, sehingga Melayu merupakan pelabuhan yang baik untuk disinggahi kapal-kapal yang berlayar melalui selat tersebut.
Tahun 683 Masehi muncullah Kerajaan Sriwijaya di daerah Palembang yang tak kalah strategis letaknya. Agak jauh dari laut, tetapi dihubungkan oleh sungai Musi yang baik untuk berlayar. Dengan letaknya yang agak ke dalam, Sriwijaya pun cocok untuk berlabuhnya kapal-kapal dagang, karena terlindung dari bahaya badai atau perampok-perampok yang berkeliaran di laut bebas.
Berdasarkan penelitian dan studi yang dilakukan oleh J.L. Moens, Sriwijaya mula-mula berpusat di Kedah, kemudian pindah ke daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Batang Mahat di daerah Muara Takus. Di tempat tersebut, terdapat situs Sriwijaya yang berupa Candi Muara Takus.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar pada masanya, oleh karenanya tidak mengherankan jika memiliki berbagai peninggalan yang mengandung catatan sejarah kebesarannya. Di bawah ini adalah peninggalan Sriwijaya yang berupa candi dan prasasti.
1. Candi Muara Takus
Dari Berita Cina dikatakan bahwa di ibukota Sriwijaya, orang yang berdiri di tanah lapang di tengah hari, maka ia tidak akan mempunyai bayangan. Hal tersebut berarti bahwa ibukota Sriwijaya berada di daerah khatulistiwa. Karena Muara Takus berada di daerah khatulistiwa. Moens menduga di situlah situs ibukota Kerajaan Sriwijaya.
2. Prasasti Kedukan Bukit
Dari Muara Takus, dengan suatu kekuatan yang besar, tentara raja Sriwijaya menyerbu ke daerah Palembang dan menguasainya. Hal itu diberitakan dalam prasasti Kedukan Bukit (tahun 682 Masehi). Kedukan Bukit berada di tepi sungai Talang dekat Palembang. Prasasti tersebut berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
Isi dari Prasasti Kedukan Bukit adalah sebagai berikut:
“Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara dua laksa (satu laksa 10.000) dan 200 peti (kosa) perbekalan dengan perahu, serta suatu tempat yang bernama Melayu. Pada tanggal 5 paro terang, bulan Asadha (tahun 682 Masehi) dengan suka cita mereka datang di satu tempat dan membuat kota (Wanua) dan Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan, perjalanannya berhasil dan seluruh negeri memperoleh kemakmuran”.
Menurut N.J. Krom, kejadian itu adalah penyerbuan tentara Sriwijaya dari Minanga (Minangkabau) untuk menguasai daerah Palembang yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Melayu. Kemudian daerah Palembang dijadikan pusat Kerajaan Sriwijaya.
3. Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo sebelah barat kota Palembang yang berbahasa Melayu Kuno dengan huruf Pallawa (tahun 684 M) menceritakan tentang pembuatan Taman Sriksetra atas perintah Punta Hyang Sri Joyanasa, untuk kemakmuran semua makhluk. Di samping itu terdapat doa dan harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha.
4. Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu, dekat Palembang berbahasa Melayu Kuno dan tulisan Pallawa. Isinya adalah kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari tiga 1 candi dan dua prasasti tersebut adalah setelah Raja Sriwijaya menguasai daerah Palembang, maka raja berusaha meraih simpati penduduk wilayah baru ini dengan mendirikan taman yang dapat menyenangkan hati penduduk.
Tetapi, akhirnya gejala yang menentang politik raja Sriwijaya itu ketahuan juga, sehingga raja mengeluarkan ancaman terhadap siapa saja yang berani menentang raja dan tidak taat kepada perintahnya.
5. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur ditemukan dekat Sungai Menduk di Pulau Bangka bagian barat dan berangka tahun 686 Masehi. Prasasti Kota Kapur berisi kutukan kepada mereka yang berbuat jahat, tidak tunduk dan setia kepada raja akan celaka.
Pada prasasti itu dikatakan pula bahwa Sriwijaya akan menghukum Bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Adapun yang dimaksud Bhumi Jawa adalah kerajaan Tarumanegara yang merupakan saingan bagi Sriwijaya dalam perniagaan. Berita Cina selanjutnya menyatakan bahwa sejak tahun 666-669 Masehi Tarumanegara mengirim utusan lagi ke Kerajaan Cina. Hal itu karena lautan telah diblokir oleh Sriwijaya.
6. Prasasti Karang Brahi
Prasasti Karang Brahi di tepi Sungai Merangin, anak Sungai Batang Hari di Jambi Hulu tahun 686 Masehi, berisi kutukan kepada mereka yang berani menentang raja, seperti yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur.
Prasasti itu dibuat setelah Sriwijaya menaklukkan Melayu pada tahun 685 Masehi, seperti yang diceritakan oleh I-tsing.
7. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah di tepi anak Sungai Sekampung, Lampung Selatan, diperkirakan dibuat pada akhir abad ke-7.
Isi dari Prasasti Palas Pasemah adalah sama seperti Prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi, yakni kutukan dan peringatan. Dengan demikian, daerah Lampung Selatan sudah dikuasa oleh Sriwijaya.
Di Bukit Seguntang ditemukan prasasti-prasasti pendek (fragmen). Beberapa kalimat tertulis berbunyi sebagai berikut:
- pira marvya (ha), artinya tidak tahu berapa banyak yang berperang.
- vanak pramirahna, artinya banyak darah tertumpah.
- pauravirakta, artinya merah (oleh darah)
- mamancak yam praja, tidak jelas artinya, diduga berkenaan dengan peperangan tersebut.
Dari fragmen prasasti itu dapat disimpulkan bahwa telah terjadi peperangan hebat yang memakan banyak korban.