Perkembangan agama Buddha di Sriwijaya – Sejak abad ke-7, di Kerajaan Sriwijaya telah tumbuh dan berkembang agama Buddha. Pada fragmen Prasasti Bukit Siguntang terdapat kata-kata Siksa-Prajna yang terdiri atas siksa dan prajna, yaitu dua pengertian dasar agama Buddha aliran Mahayana dan aliran Hinayana. Agama Buddha yang dianut di Sriwijaya adalah aliran Hinayana.
Karena menganut aliran tersebut, maka di kerajaan ini tidak ada peninggalan-peninggalan agama Buddha berupa candi dan patung seperti di Jawa yang menganut agama Buddha aliran Mahayana.
Aliran Hinayana tidak menggunakan patung atau candi dalam pelaksanaan upacara, kebaktian, melainkan menitikberatkan kepada semadi.
Hingga abad ke-11, Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Para biksu Buddha dari negara-negara di Asia bagian timur yang hendak berkunjung ke pusat agama Buddha di India (Nalanda) dalam perjalanannya singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk mempelajari agama Buddha sebagai persiapan.
Dharmapala adalah seorang mahaguru terkenal dari India yang memberi kuliah di Perguruan Tinggi Buddha di Sriwijaya, yang didampingi oleh mahaguru terkenal dari Indonesia sendiri bernama Sakyakirti.
Seorang bhiksu dari negeri Cina bernama I-tsing, lama tinggal di Sriwijaya dan menerjemahkan kitab-kitab agama Buddha dari bahasa Sansekerta dan bahasa Kwun-lun ke dalam bahasa Cina.
Bahasa Kwun-lun adalah bahasa Melayu Kuno. Dikatakan bahwa dalam hubungan perdagangan di Asia Tenggara dipergunakan bahasa Kwun-lun.
Peta Perkembangan agama Buddha di Sriwijaya
Raja Balaputra mendirikan biara di Nalanda untuk para biksu dari Sriwijaya. Fasilitas pembangunan itu diberikan oleh Raja Pala, Dewapaladewa pada tahun 860 Masehi. Pada prasastinya, Raja Dewapaladewa memerintahkan agar lima buah desa memberi nafkah kepada penghuni biara yang dibangun oleh raja Balaputra.