Penyebaran Islam di Jawa Barat abad 13 sampai 16 masehi

Latar Belakang Masuknya Islam di Jawa Barat

Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan untuk mewujudkan salah satu misi agama yaitu berdakwah. Dakwah berarti menyampaikan, menyebarkan dan mengajarkan kepada sebanyak-banyaknya orang. Namun, dalam praktik penyebaran agama Islam tidak diperbolehkan memaksa orang lain untuk menganut ajaran Islam. Hal inilah yang menyebabkan penyebaran ajaran Islam di kawasan Tatar Sunda berlangsung dengan damai.

Ikatan perkawinan, kepentingan politik serta urusan perniagaan sering kali dijadikan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah Jawa Barat. Pada intinya latarbelakang disebarkannya Islam ke wilayah jawa Barat tidak terlepas dari adanya kepentingan dalam aspek ekonomi, sosial dan politik.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut mampu mewakili penjelasan terkait koalisi Cirebon dan Demak yang menyebarkan Islam di Sunda Kelapa, yaitu sebagai upaya untuk berhadapan dengan koalisi Portugis (Katolik) dan Kerajaan Pajajaran (Hindu).

Di dalam agama Islam terdapat tiga unsur penting yaitu tasawuf (akhlak), syariah (ibadah), dan tauhid (akidah). Tiga komponen inilah yang diajarkan dalam proses penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Secara konseptual, ketiganya harus diajarkan secara bersamaan.

Namun, dalam praktik penyebaran agama Islam di Jawa Barat, hal ini belum dapat dijalankan. Hal ini karena ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu penekanan dan penyampaian materi yang diajarkan. Sejumlah bukti mampu mewakili bahwa ajaran tasawuf di Tatar Sunda sangat terkemuka dan memiliki pengaruh besar dalam proses penyebaran Islam di wilayah tersebut. Tasawuf pula yang menjadikan proses islamisasi di wilayah tersebut menjadi relatif mudah (Taufik Abdullah & Lapian, 2011: 185).

Masuknya agama Islam ke daerah Priangan dimulai dari Cirebon; sedangkan di daerah Sukabumi, Bogor, dan Banten Selatan Islam masuk melalui Banten. Sehingga, dalam penyebaran Islam wilayah Jawa Barat di klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu wilayah bagian barat dan wilayah bagian timur.

Wilayah bagian barat meliputi Sukabumi, Bogor, Jakarta serta Banten Selatan dengan pusat penyebaran di Banten. Sementara wilayah bagian timur meliputi Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Bandung, Cianjur, Subang, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan dengan pusat penyebarannya di Cirebon.

Ekadjati (dalam Nina H. Lubis 2011: 29) mengklasifikasikan rute penyebaran agama Islam di kawasan Jawa Barat menjadi enam rute. Enam rute penyebaran tersebut meluputi:

  • Cirebon – Kuningan – Talaga – Ciamis
  • Cirebon – Kadipaten – Majalengka – Darmaraja – Garut
  • Cirebon – Sumedang – Bandung
  • Cirebon – Talaga – Sagalaherang – Cianjur
  • Banten – Jakarta – Bogor – Sukabumi
  • Banten – Banten Selatan – Bogor – Sukabumi

Pada fase berikutnya, penyebaran Islam di wilayah Jawa Barat dilakukan secara terorganisir yakni melalui lambaga pendidikan seperti pesantren. Pesantren-pesantren kuno di Jawa Barat saling memiliki kataerikatan secara geneologis dan intelektual dengan Banten dan Cirebon. Bahkan melalui ikatan perkawinan, pesantren di Jawa Barat terus tercipta.

Menurut Imam Subqi, dkk (2018: 2) Islam selalu tampil dalam bentuk yang luwes pada saat berhadapan dengan masyarakat yang beraneka ragam dalam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Bahkan Islam memiliki nilai yang bersifat universal sepanjang zaman. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab ajaran Islam mudah diterima oleh penduduk Jawa Barat.

Penyebaran Islam di Cirebon oleh Syarif Hidayat (Sunan Gunung Jati)

Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah perintis penyebaran Islam di Tanah Sunda. Perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut merupakan sebagian dari misi dakwah.

Sebagai refleksi, salah satunya adalah penggunaan metode dakwah yang diterapkan Syarif Hidayatullah di dalam menyebarkan agama Islam lebih banyak menekankan metode dakwah bil hal, yaitu metode dakwah dengan lebih mengedepankan praktik langsung bersama-sama masyarakat melalui uswah atau praktik keteladanan yang baik kepada masyarakat (Roslan Mohd dalam Wawan Hernawan dan Ading Kusuma, 2020: 143).

Dalam sejarah, Syarif Hidayatullah dianggap sebagai seorang guru agama Islam di Tanah Sunda. Pandangan ini dipahami karena, ia telah menuntut ilmu Islam dari beberapa kota-kota Islam seperti Mekah, Madinah, hingga Baghdad.

Ketika sudah merasa mendapatkan ilmu agama Islam yang cukup, ia memutuskan untuk pergi ke Tanah Sunda yang merupakan daerah asal ibunya dengan menggunakan Kapal Laut. Di sepanjang perjalanan ke menuju Sunda dan meninggalkan Mesir, ia menyempatkan untuk menetap dalam beberapa waktu di Gujarat, Pasai, Banten, serta Gresik. Daerah-daerah tersebut telah lebih dulu dikenal sebagai poros Islamisasi di Nusantara.

Sepanjang paruh awal abad ke XVI Masehi, Syarif Hidayat mengunjungi seluruh wilayah Sunda dalam rangka melaksanakan amanah dari para wali yaitu menjalankan tugasnya sebagai penyebar agama Islam. Kesibukannya dalam mendakwakan agama Islam, membuat putranya yaitu Pangeran Pasarean harus turun tangan mewakilinya sebagai pemimpin daerah Cirebon.

Setelah Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1552, kursi kekuasaan daerah Cirebon diberikan kepada Fadhilah Khan. Ia menjadi penguasa Cirebon selama 18 tahun sejak meninggalnya Pangeran Pasarean.

Dengan kepandaian yang dimiliki dalam menguasai ilmu agama Islam serta kecerdikan dan kepiawaiannya dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, ia berhasil mengislamkan penduduk di wilayah tersebut. Pada tahun-tahun pertama, Sunan Gunung Jati menggantikan peran Syekh Datuk Kahfi sebagai guru agama di Cirebon.

Setelah beberapa lama menjalin interaksi dengan masyarakat ia diberi gelar sebagai Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati untuk panggilan sehari-hari. Selain di Cirebon. Ia juga menetap beberapa waktu di Banten untuk menyebarkan ajaran Islam.

Penyebaran Islam di Banten dan Sunda Kalapa oleh Faletehan (Fadhilah Khan)

Tokoh Fadhilah Khan identik dengan peran Faletehan, sehingga diperkirakan kedua nama tersebut adalah satu tokoh yang sama. Pada tahun 1490 Masehi, Faletehan lahir di Pasai dari seorang ayah yaitu Maulana Makhdar Ibrahim dari Gujarat dan tinggal di Basem (Pasai) menjadi seorang pengajar agama Islam. Faletehan dan Syarif Hidayat adalah saudara satu kakek.

Faletehan diberi amanah oleh Sultan Demak agar melakukan penyebaran ajaran Islam di wilayah Banten. Kehadirannya di Banten disambut baik oleh para penguasa di daerah tersebut. Pimpinan Banten kemudian menganut ajaran Islam dan memberi berbagai bantuan untuk menunjang penyebaran ajaran Islam yang dilakukan Faletehan di daerah Banten.

Berkat penyebaran ajaran Islam yang dilakukan Sayid Rahmat pada tahun 1445 Masehi dan Sayid Syarif Hidayat pada 1475, masyarakat pelabuhan Banten telah menganut ajaran Islam pada tahun 1470 Masehi. Pada tahun 1526 Masehi, mereka memberikan sambutan atas kehadiran tentara Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh Dipati Cirebon dan Faletehan.

Pada fase berikutnya, islamisasi di wilayah pelosok Banten berada di bawah pimpinan Hasanuddnin. Ia adalah seorang kepala daerah dan merupakan seorang putra dari Syarif Hidayat.

Penyebaran Islam di Daerah Pedalaman Tatar Sunda

Pada abad ke XVI Masehi kawasan Pesisir Utara Jawa Barat secara keseluruhan dikuasai oleh para pemimpin Islam. Setelah itu, dimulailah penyebaran ajaran Islam ke daerah-daerah pelosok di Jawa Barat. Masuknya ajaran Islam ke tanah Sumedang berasal dari saluran perkawinan.

Penguasa Sumedang pertama yang menganut ajaran Islam adalah Pangeran Santri. Ayahnya memiliki darah turunan Sunan Gunung Jati, sedangkan Ibunya memiliki darah turunan raja Pajajaran.

Pada tahun 1526 hingga 1552 Masehi, Pangeran Hasanuddin selaku menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut sebagai penguasa Banten. Pada tahun tersebut ia menjadi bupati, namun setelahnya yaitu pada tahun 1552 hingga 1570 Masehi ia berperan sebagai Sultan.

Pada tahun 1570 hingga 1580 Masehi, kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh putranya yaitu Maulana Yusuf. Ia meneruskan upaya ayahnya untuk melakukan penyebaran agama Islam di daerah pedalaman Banten. Memasuki tahun 1527 Masehi, ibu kota Kerajaan Sunda terisolasi di pedalaman dan tidak terhubung pada kota Pelabuhan yang mayoritasnya telah menganut Islam.

Akan tetapi, Kerajaan Sunda masih mampu mempertahankannya selama setengah abad lebih setelah pengislaman di daerah-daerah Pelabuhan. Akhirnya, Kerajaan Sunda berhasil dikuasai oleh pasukan Banten tepatnya pada tahun 1579 Masehi.

Penyebaran Islam Setelah Munculnya Pesantren di Jawa Barat

Pesantren tertua di Jawa Barat terletak di Cirebon dan Kabupaten Karawang. Perkembangan pendidikan di kawasan Jawa Barat telah dimulai sejak masa prasejarah, meskipun kelangsungan sistem pendidikan pada masa tersebut belum diketahui secara pasti.

Pada abad ke VIII hingga abad ke XVI Masehi atau pada masa Kerajaan Sunda, kelangsungan kegiatan pendidikan di Tatar Sunda telah mendapat banyak pengaruh ajaran Hindu dan Buddha.

Adanya kegiatan dan sistem pendidikan dalam kehidupan penduduk muslim beriringan dengan muncul dan berkembangnya Islam di daerah di Tatar Sunda. Menurut Ekadjati (dalam Nina H. Lubis 2011: 34) awak persentuhan masyarakat Tatar Sunda dengan agama Islam berawal dari kehadiran orang muslim pertama di Tatar Sunda. Ia adalah Haji Purwa yang singgah ke Galuh dan Cirebon pada tahun 1337 Masehi dengan tujuan untuk melakukan penyebaran ajaran Islam di kawasan tersebut.

Pada tahun 1418 Masehi, Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik bersama rombongan saudagar dari Campa mendatangi negeri Singapura. Syekh Hasanudin adalah seorang tokoh ulama. Ia pergi ke Karawang dan menetap beberapa waktu untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan tersebut kemudian dinamakan dengan Pesantren Quro. Selama dua tahun, Nyi Subalarang menuntut ilmu di Pesantren Quro. Pada 1420 Masehi, selepas mondok ia mendirikan pakobongan atau pesantren kecil di Amparan Alip (Wawan Hernawan dan Ading Kusdiana, 2020: 36).

Pada abad ke XVI Masehi, kedudukan Islam di beberapa wilayah di Nusantara sudah cukup kokoh. Kesultanan Demak, Kesultanan Banten serta Kesultanan Cirebon sebagai kerajaan-kerajaan islam menjadi bukti kekuasaan politik Islam du Nusantara. Pada masa ini sudah terdapat masjid yang dijadikan sebagai tempat menggelar pendidikan agama Islam dengan pola pendidikan pesantren.

Daftar Pustaka

  • Taufik Abdullah dan A. B. Lapian. 2011. Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 3: Kedatangan dan Peradaban Islam. Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve.
  • Nina H. Lubis. 2011. Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat. Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia.
  • Imam Subqi, Sutrisno, dan R. Ahmadiansah. 2018. Islam dan Budaya Jawa. Solo: Percetakan Ivorie.
  • Mohd Roslan Mohd dan C. M. Hasani. 2017. Sumbangan Syarif Hidayatullah dalam Penyebaran Pendidikan Agama Islam di Jawa Barat. Jurnal At’Ta’dib. 12(1): 173-193.
  • Wawan Hernawan dan A. Kusdiana. 2020. Biografi Sunan Gunung Djati: Sang Penata Agama di Tanah Sunda. Bandung: LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Biodata Penulis

NamaYuma Gilmi
Yuma Gilmi
Emailyumami135@gmail.com
AlamatJln. Saptoargo No. 32 Mrican, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri
StatusMahasiswa, Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Jember

Pos terkait