Sampai saat Dekrit Presiden dan berlakunya kembali UUD 1945, keadaan ekonomi dan keuangan pemerintah sangat suram, akibat pecahnya pemberontakan PRRI-Permesta. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah melaksanakan serangkaian tindakan di bidang ekonomi dan keuangan.
Devaluasi Mata Uang Kertas dan Dekon
Pada tanggal 24 Agustus 1959 uang kertas yang mempunyai nominal Rp 500,00 didevaluasi menjadi Rp 50,00 dan yang bernilai Rp 1.000,00 dihapuskan. Semua simpanan dalam bank yang melebihi Rp 25.000,00 dibekukan.
Usaha pemerintah ini tidak dapat menghentikan kemerosotan ekonomi yang semakin jauh. Indeks biaya hidup menunjukkan perkembangan menaik, dalam tahun 1961-1962 mengalami kenaikan 70% yang berarti mengalami kenaikan 225% dari indeks tahun 1960.
Untuk menanggulangi keadaan ekonomi yang semakin suram, pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu “Deklarasi Ekonomi” atau “Dekon”, beserta 14 peraturan pokoknya.
Tujuan Dekon dan Pelaksanaannya
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuan Dekon adalah : menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis dan bebas dari sisa-sisa imperialisme, untuk mencapai tahap ekonomi sosial Indonesia dengan cara terpimpin.
Konsepsi Dekon ini dalam pelaksanaannya membawa akibat stagnasi bagi ekonomi Indonesia. Pada tanggal 26 Mei 1963 dikeluarkan 14 pokok peraturan, tetapi peraturan-peraturan itu sendiri dalam pelaksanaannya bertentangan dengan prinsip-prinsip Dekon.
Di dalam praktek kesulitan-kesulitan ekonomi bertambah menyolok, pada tahun 1961-1962 harga-harga pada umumnya naik menjadi 400%. Kondisi politis, yaitu konfrontasi dengan negara-negara Barat dan Malaysia, melibatkan Indonesia ke dalam situasi perang yang mempercepat proses kemerosotan ekonomi.
Di dalam melaksanakan ekonomi terpimpin pemerintah lebih menonjolkan terpimpin-nya daripada asas-asas ekonominya. Akibatnya ialah bahwa bidang kelembagaan ekonomi semakin terjerumus ke dalam kebiasaan yang unsur terpimpinnya lebih dominan daripada unsur ekonominya yang efisien.
Struktur ekonomi Indonesia mengarah kepada etatisme (segala-galanya diatur atau dipegang oleh negara). Ekonomi terpimpin ala Dekon lebih bersifat ekonomi peraturan yang menjurus menjadi ekonomi anarchi.
Pengeluaran negara bertambah besar karena prinsip-prinsip ekonomi diabaikan. Defisit dari tahun ke tahun meningkat 40 kali dari Rp 60,5 milyar menjadi Rp 2.514 milyar. Sedang penerimaan negara pada tahun 1960 menjadi Rp 53,6 milyar, hanya meningkat 17 kali pada tahun 1965 menjadi Rp 923,4 milyar.
Volume uang pada tahun 1960 Rp 47,8 milyar pada tahun 1965 menjadi Rp 2.775.0 milyar. Pada tahun 1966 dari bulan Januari-Agustus pengeluaran negara menjadi Rp 11 milyar, sedang penerimaan negara hanya Rp3,5 milyar.
Defisit Meningkat
Defisit yang berjumlah Rp 7,5 milyar menambah volume dalam sirkulasi. Defisit yang semakin meningkat ditutup dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan bahwa hal tersebut menambah beratnya inflasi.
Dengan melihat angka-angka di atas, ternyata pemerintah hidup diluar kemampuan, karena terlalu banyak yang dilaksanakan padahal biaya tidak ada. Misalnya proyek-proyek pembangunan non ekonomi yang bersifat mercusuar. Inflasi kita sudah mencapai tingkat hiper-inflasi.
Pada tahun 1966 inflasi mencapai 600%. Berdasarkan Penetapan Presiden No. 8/1965 tanggal 11 Mei 1965 organisasi bank-bank pemerintah dipusatkan ke dalam satu tangan, yaitu di tangan Menteri Urusan Bank Sentral.
Bank-bank pemerintah menjadi unit-unit daripada Bank Negara Indonesia. Tindakan ini menyebabkan timbulnya spekulasi dan penyelewengan-penyelewengan pengguna uang negara karena tidak adanya kontrol.
2 Sebab Kegagalan Ekonomi Terpimpin
Adapun sebab-sebab pokok kegagalan ekonomi terpimpin yang berlandaskan Dekon adalah:
- Penanganan masalah ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis dan tidak ada kontrol.
- Tidak adanya ukuran yang obyektif di dalam menilai sesuatu usaha atau hasil orang.
Dilihat dalam keseluruhannya, gambaran ekonomi kita pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan gambaran yang paling suram dalam sejarah nasional Republik Indonesia. Volume uang yang meningkat akibat defisit dan arus uang yang cepat tidak membangkitkan produksi atau melancarkan arus barang.
Arus barang mundur akibat kurangnya produksi dalam negeri akibat kurangnya spareparis. Kepentingan rakyat dikorbankan dengan dihentikannya impor beras, sedang devisa negara digunakan untuk tujuan-tujuan politik seperti membiayai perjalanan delegasi-delegasi asing.