Sir Martin Frobisher, seorang perwira angkatan laut Inggris yang sekaligus juga seorang nakhoda dan penjelajah itu, memimpin tiga ekspedisi untuk mencari Celah Baratlaut ke Cina.
Pada tahun 1576, dengan sebuah armada kecil yang terdiri atas 3 buah kapal dan 35 orang awak, dia memulai pelayarannya melalui Kepulauan Shetlandia menuju ke sasarannya.
Salah satu kapalnya hilang dalam cuaca buruk, sedangkan sebuah kapal lainnya ditinggalkan begitu saja. Frobisher terus memacu kapalnya, menyisir Labrador, dan memasuki suatu tempat yang dikiranya sebuah selat. Kelak terbukti bahwa selat itu ternyata sebuah teluk dan dinamakan Teluk Frobisher.
Ekspedisi yang pertama itu sangat penting artinya terutama karena merupakan ekspedisi yang pertama kali meneropong Tanah Hijau sejak lenyapnya koloni Viking.
Armada Frobisher membawa pulang barang muatan yang berupa bijih berwarna hitam yang diduga mengandung emas. Apa lacur, bijih berwarna hitam itu ternyata hanya mengandung pirit besi atau suasa. Cathay Company, yang membiayai ekspedisi Frobisher itu jatuh bangkrut.
Baca juga: Arti celah Timurlaut Arktik bagi perniagaan
Keadaan keuangan Frobisher berantakan, tetapi Ratu Elizabeth I tetap menghargainya dan menaikkan pangkatnya menjadi laksamana angkatan laut. Meskipun Frobisher belum berhasil menemukan Celah Baratlaut dan dari segi keuangan ekspedisi itu telah mengalami kegagalan, laporan yang dikeluarkannya semakin memperbesar minat terhadap daerah Arktik.
Berbagai ekspedisi selanjutnya telah membantu memperluas pengetahuan orang tentang berbagai jalur laut Arktik, tetapi berbagai kesulitan berlayar dalam cuaca yang tidak menentu, melintasi perairan yang baru sebagian dipetakan, dan sering terhalang oleh apungan gunung es raksasa yang berbahaya, telah menelan banyak korban baik manusia maupun kapal.
Pada bulan April 1610, Henry Hudson memulai pelayarannya dari Inggris dengan dukungan Muscovy Company. Sepanjang musim panas itu dia menjelajahi dan memetakan pesisir dan pulau-pulau di Teluk Hudson. Namun, Hudson tinggal terlalu lama sehingga kapalnya terjebak es selama musim dingin.
Dalam kurun waktu yang serba kekurangan dan penuh penderitaan itu, sebagian awak kapalnya memberontak. Hudson dan John, anaknya, serta lima orang pelaut yang masih setia kepadanya dibelenggu dan dibiarkan terkatung-katung di atas perahu tanpa bekal persenjataan, makanan, air minum, ataupun peralatan navigasi. Mereka lenyap dan tidak pernah terlihat ataupun terdengar lagi kabar beritanya.
Seorang Nakhoda Inggris lainnya, William Baffin, menjadi yakin bahwa Teluk Hudson merupakan jalan buntu sejauh hubungannya dengan upaya pencarian Celah Baratlaut. Karenanya, dia mengalihkan operasi penelitiannya ke arah utara.
Pada tahun 1616 ekspedisinya mencapai suatu titik di pesisir barat Tanah Hijau yang sekarang dikenal sebagai Thule. Dia menjelajah Selat Davis dan menemukan Selat Smith, Selat Lancaster, dan Selat Jones.
Akhirnya, upaya pencarian jalur itu sampai juga ke garis lintang yang benar. Meskipun Baffin telah melakukan penjajakan yang paling jauh ke arah barat melalui benua Amerika Utara, dia percaya bahwa Celah Baratlaut tidak bakal menjadi jalur laut perniagaan karena adanya padang es dan dalamnya air di daerah itu.
Sepanjang abad ke-17 dan ke-18 industri penangkapan ikan paus berkembang pesat di perairan Arktik. Para kapten kapal penangkapan ikan paus yang terampil dan suka menyimpan rahasia itu mempunyai pengetahuan yang luas tentang daerah kutub, tetapi mereka tidak pernah membicarakan ataupun menulis tentang berbagai penemuan mereka karena takut kalau-kalau pihak lain sampai menyusup ke medan perburuan mereka.
Pada permulaan abad ke-19 Royal Geographic Society of England (Masyarakat Geografi Kerajaan Inggris) sekali lagi mendesak Kementerian Angkatan Laut untuk menaklukkan jalur laut hantu itu yakni Celah Baratlaut.
Kementerian Angkatan Laut memenuhi desakan itu dengan menunjuk seorang perwira angkatan laut yang terkemuka, Sir John Franklin, untuk memimpin sebuah ekspedisi yang terdiri atas dua buah kapal, yakni Erebus dan Terror.
Kedua kapal yang membawa bekal yang cukup untuk menempuh pelayaran selama 3 tahun itu, mulai berlayar dari Inggris pada bulan Mei 1845, dengan membawa serta perintah khusus tentang berbagai arah yang harus ditempuh sehingga dapat berlayar dari Teluk Baffin di sebelah barat ke Laut Beaufort di sebelah timur. Dua tahun telah berlalu tanpa berita apapun dari Franklin ataupun para awak kapalnya.
Tiga tahun setelah keberangkatan Franklin, Inggris dan Amerika Serikat memulai operasi pencarian dan penyelamatan terbesar dalam sejarah kutub. Berbagai hadiah yang sangat besar ditawarkan kepada siapa saja yang dapat ikut membantu memecahkan misteri hilangnya kedua kapal tersebut.
Selama 9 tahun berikutnya, sebanyak 39 ekspedisi telah dilancarkan dengan biaya lebih dari $5.000.000. Seluruh Inggris menunggu-nunggu kabar tentang armada yang hilang itu dan sebuah lagu telah diciptakan untuk menggambarkan dambaan para janda penjelajah agar pencarian terus dilanjutkan:
Dan membawanya kembali ke lahan kehidupan
Di sana aku akan menjadi isterinya lagi…
Kan kuberikan seluruh harta yang dulu kumiliki
Tapi kukira, yah, dia telah berada di alam baka.
Misteri itu akhirnya terungkap tatkala ditemukan berbagai catatan yang membuktikan bahwa seluruh rombongan ekspedisi itu telah tewas secara mengerikan. Catatan itu mengisahkan tentang kedua kapal yang terjebak di padang es, tentang penyakit kulit, kelaparan, dan maut.
Beberapa orang anggota ekspedisi Franklin mampu bertahan agak lama dengan jalan berlindung kepada orang Eskimo dan belajar dari mereka cara menjalani hidup di Arktik.
Namun, akhirnya mereka tidak mampu lagi menahan kesabaran untuk melihat bentang alam yang lebih ramah dan mulai berjalan melintasi lahan kosong yang beku itu dan tewas.
Berbagai catatan dan skema yang dibuat oleh Franklin benar-benar dapat dijadikan pedoman untuk melayari Celah Baratlaut. Sejumlah peta dan informasi lebih lanjut yang berhasil dihimpun oleh regu penyelamat membantu menciptakan gambaran yang lebih gamblang tentang daerah itu.
Celah Baratlaut akhirnya berhasil dilayari oleh Roald Amundsen, seorang penjelajah kutub terkemuka berkebangsaan Norwegia, antara tahun 1903 dan 1906 ia berhasil mencapainya dengan menggunakan kapal Gjoa yang begitu kecil sehingga hanya mampu menampung 6 orang awak kapal.
Dalam pelayarannya yang lama itu Amundsen berhasil menghimpun berbagai informasi penting tentang pakaian, perkeretaluncuran, serta pemanfaatan anjing Arktik yang terbukti tak terbilang nilainya ketika dia memulai upayanya untuk menaklukkan Kutub Selatan.