Pulau garam, siapa yang tidak tau tidak julukan ini. Pulau garam ialah julukan yang diberikan kepada pulau Madura. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat di pulau Madura menjadi petani garam ditambah dengan banyaknya tempang pembuatan garam yang diproduksi memiliki kualitas baik.
Ada 3 daerah pembuatan garam di pulau Madura, Kabupaten Sumenep di bagian timur, kabupaten Pamekasan di bagian tengah dan kabupaten Sampan di bagian barat. Pada jaman VOC daerah garam ini disebut zoutnegorizen, sedangkan pada jaman Hindia Belanda disebut zoutlanden.
Hubungan Orang Madura dengan Garam
Pulau Madura memiliki sejarah panjang dengan garam, hubungan erat antara orang Madura dengan kondisi alam di Madura melahirkan suatu budaya pembuatan garam.Sekitar 500 tahun orang Madura telah mengenal teknologi pembuatan garam.
Membuat petak-petak lahan sepanjang pantai sebagai tempang penampungan air laut, kemudian air laut diuapkan melalui tenaga dari matahari serta angina yang bertiup di pesisir pulau Madura (Suhelmi,2013).
Orang yang pertama kali memperkenalkan teknologi pembuatan garam adalah Pangeran Anggasuta di wilayah Pinggir Papas pada awal abad ke 16. Sebagai ungkapan terima kasih atau penghargaan masyarakat Madura terhadap Pangeran Anggasuta lahirlah budaya Nyadher (upacara penghormantan) yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh orang Madura.
Tujuan lain dari dilaksanakannya upacara ini untuk mengirimkan doa kepada leluhur yang menurunkan kepandaian untuk membuat garam kepada masyarakat Madura. Upacara ini juga berguna sebagai penyebaran agama islam karena dalam pelaksanaanya dibacakan naskah-naskah yang berisi ajaran-ajaran yang dapat digunakan sebagai pegangan hidup masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Garam dapat dikatakan sebagai budaya dari Madura karena orang Madura tidak dapat dipisahkan dengan garam. Buktinya dapat ditemukan berbagai ungkapan dan peribasa Madura yang mengaitkan dengan buja (garam). Salah satu contoh dari peribahasa Madura tentang garam seperti ta’ nyerrep buja accem (asam garam sebagai obat tidak dapat diserap tubuh) arti dari peribahasa ini ialah seseorang yang tidak mau diberikan nasehat baik dari orang lain.
Contoh lainnya ambujai saghara atau buja ebuweng ka tase’ (membuang garam ke laut) artinya adalah melakukan pekerjaan yang tidak ada artinya atau sia-sia.
Selain dianggap sebagai budaya, garam sering juga dijadikan sambal. Orang Madura menyebut Sambal tersebut buja cabbhi (garam yang diuleg dengan cabe). Buja cabbhiini menjadi sambal favorit bagi masyarakat Madura yang biasanya langsung disantap dengan nasi dan juko’ pendang (ikan pindang).
Jika dibandingkan dengan orang lain yang menjadi petani garam, orang Madura mengelola garam bukan berdasarkan untung dan rugi melainkan sebagai bagian dari hidupnya. Akhirnya sampai kapanpun memang orang Madura tidak dapat dipisahkan dengan garam.
Madura Sebagai Produsen Garam (1915-1957)
Meskipun Madura disebut dengan pulau garam akan tetapi Madura bukan penghasil garam yang paling tua. Pada abad ke 19 saat zaman VOC dimulai pengembangan garam dengan sistem pajak tidak langsung yang menyebabkan ladang-ladang garam baru mulai bermunculan di Madura.
Diketahui dari peta tahun 1915, daerah pembuatan garam yang ada di Madura terdapat di wilayah selatan pulau Madura, lebih tepatnya di daerah Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Masing-masing daerah ini memiliki komplek empang garam yang beragam.Sumenep memiliki 1.648 empang, Pamekasan memiliki 1.547 dan Sampang memiliki sekitar 1.377 empang.
Raffles berpendapat bahwa daerah sumenep merupakan tempang paling baik dalam pembuatan garam jika dibandingkan dengan Pamekkasan dan Sampang.Alasan rafles berpendapat demikian karena factor alam dari daerah sumenep sendiri.
Pada tahun 1928 menurut laporan pemerintah kolonial Belanda faktor utama dari pembuatan garam karena faktor geografi Madura Timur sebagai wilayah yang kering, 4 bulan tanpa curah hujan dan musim kemarau yang cukup panjang.
Pada tahun sebelumnya tepatnya tahun 1923 terdapat laporan kolonial yang lain yang berisi pemerintah mencoba meresmikan pembuatan garam di Gresik putih seluas 329 Ha dan di Nembakor Barat dengan luas 465 Ha (Syafi’I, 2013).
Keberadaan pembuat garam tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pembuatan garam.Pembuat garam atau sering disebut dengan produse garam ialah kelompok-kelompok penghasil garam. Produsen garam dapat dibedakan menjadi dua kelompok.
- Pertama, pembuat garam serta pemilik-pemilik lading yang kadang-kadang merupakan dikerjakan oleh orang yang sama.
- Kedua, para pekerja garam dari awal produksi hingga pemasaran.Hal paling beresiko dalam pembuatan garam ini ialah karena proses pembuatan garam ini bergantung kepada kondisi cuaca. Jika kondisi cuaca baik maka hasil dari produksi garam akan meningkat, akan tetapi jika kondisi cuasa berubah, misalnya saat produksi garam turun hujan maka dapat dipastikan hasil dari produksi garam akan menurun.
Menurunnya jumlah produksi garam juga pernah disebabkan oleh kebijakan monopoli Kolonial Belanda. Buktinya terdapat pada laporan kolonial pada tahun 1928 tentang pembatasan produksi garam yang dihasilkan pada tahun 1925 dan 1926 yang melebihi batas akibat dari panjangnya musim kemarau.
Akhirnya pada tahun 1927 pemerintah mengeluarkan keputusan agar melakukan batasan maksimal produksi sebanyak 90.000 koyang. Pada tahun 1945 sampai 1949 merupakan masa yang sulit bagi pengusahaan garam.Ketika itu kondisi Indonesia telah merdeka dan secara perlahan pemerintah Indonesia berhasil menguasai candu dan jawatan Ragie Garam.
Barulah Pada tahun 1957 berdasarkan lembaran Negara tentang Penghapusan Monopoli Garam No. 82/1957 oleh Pemerintah Republik Indonesia, sistem monopoli di Indonesia telah resmi dihapus. Akibat dari penghapusan sistem monopoli yang berubah menjadi Undang Undang Darurat No. 25 Tahun 1957 tentang Penghapusan Monopoli Garam dan Pembikinan Garam Rakyat, persaingan terjadi baik dari produksi dan distribusi.
Monopoli Garam di Madura
Pemerintah Belanda mulai melakukan penerapan poliltik monopoli garam di Madura pada tahun 1882, baik itu dalam produksinya dan pemasarannya dikuasai oleh pemerintah Belanda. Akibat adanya perlindungan dari undang-undang membuat terbentuknya monopoli garam.
Dalam Staatblad van Nederlandsch-Indie nomor 73 tahun 1882, ayat 1 terdapat ketentuan yang menyangkut mengenai larangan produksi garam, kecuali untuk daerah yang disebut seperti Jawa dan Madura, pantai barat Sumatra dan seterusnya. Dibalik terdapatnya larangan ini, ada aturan yang mewajibkan pembuatan garam kepada pemilik garam yang ada di wilayah monopoli.
Sebenarnya pengelolaan monopoli telah ada sejak masa lampau tepatnya saat masa VOC. Pada saat itu raja-raja di Madura memiliki cara sendiri dalam mengolah garam di Madura. Setiap tahunnya raja Madura mendapatkan 2000 gulden dari hasil mengadakan penjualan garam kepada orang Cina. Garam Madura hanya dibeli dengan harga f5 – f6 untuk setiap koyang karena adanya pembelian gadai (Parwanto, 2015).
Ide untuk membentuk 1 badan yang hendak mengelola garam berhubungan dengan zoutregie muncul pada tahun 1909. Akhirnya pada tahun 1915 usaha ini terlaksana dengan diterapkannya dinas regie secara definitih. Cara yang dilakukan dinas regie dalam pengelolaan garam ialah menggunakan cara pabrikan dan hasil produksinya dinamakan garam briket.
Garam briket ini adalah garam pasir yang dicetak dalam bentuk kubus dengan ukuran tertentu antara lain 1 kg, 5 kg, 10 kg, 15 kg, dan 25 kg. Akan tetapi dinas regie ternyata tidak menunjukkan peningkatan yang baik dalam pengelolaan garam.
Kepala dinas adalah orang yang menjadi pemimopin Dinas Zoutregie, selain itu Dinas Zoutregieberada dibawah naungan departemen Governementsbedriven. Kepala dinas ini sendiri membawahi kepala pembuatan garam di berbagai daerah pembuatan garam.
Adapun personalia pembuatan garam di Madura tahun 1916 adalah sebagai berikut: 1 orang pembuatan garam (hoof van den aanmaak), 3 orang pengatur/pelaksana administrasi (beheerders), 3 orang wakil pengatur ( hulpbeheerders), 14 orang pengawas (opzichters), 3 orang mantri kepala(hoofd mantris), 24 mantri, 44 mandor tetap, 4 penulis (schrijvers), 3 agen polisi kelas satu, 18 polisi kelas dua.
Organisasi pengelolaan garam di Madura Selama 5 tahun dari 1916-1920 tidak mengalami perubahan yang berarti.Perubahan yang terjadi hanya bersifat hanya sementara dan berupa pengurangan dan penambahan personil yang berada dalam bagian paling bawah struktur organisasi misalnya mantra, mandor, pengawas dan penulis.
Pada tahun 1909 akibat kondisi cuaca yang kurang menguntungkan produsen garam merugi.Akhirnya turun kebijakan monopoli yang memaksa pemerintah untuk tidak membuka ladang-ladang garam baru sampai tahun 1910.Hasil produksi garam adalah sumber pendapatan yang sangat penting bagi pemerintah, maka dari Kebijaksanaan monopoli garam dilaksanakan oleh pemerintah.
Adapun Landasan dasar monopoli garam adalah untuk melindungi produksi.Dari tahun 1916 sampai 1920 pemerintah mendapat keuntungan bersih yaitu rata-rata 9 juta gulden. Pada tahun 1959 ternyata pembuatan garam masih dimonopoli oleh pemerintah. Zoutregie masih mengelola produksi dan niaga garam.Agar dapat meningkatkan produksi garam Zoutmonopolie Ordonannantie tahun 1941 harus dihapuskan.
Akhirnya pada tahun 1957 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Darurat no 25 untuk menghapus monopoli garam dan pembuatan garam rakyat.
Daftar Pustaka
- Parwanto. 2015. Dampak Monopoli Garam Di Madura Pada Abad XX. Mozaik. 7: 33-42.
- Suhelmi, I, R., dkk. 2013. Garam Madura: Tradisi dan Potensi Usaha Gara Rakyat. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan.
- Syafi’I, I. 2013. Persaingan Pengangkutan Garam Di Selat Madura Tahun 1924-1957. Jurnal Sejarah Citra Lekha. 17 (1): 85-104.
Biodata Penulis
Nama
Alaikal MubarokEmail alaikalmubarok1111@gmail.com Alamat Kec Kota Sumenep Kabupaten Sumenep Status Mahasiswa, Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Jember