Setelah pelantikan Kabinet Pembangunan VII pada awal bulan Maret 1998 ternyata kondisi bangsa dan negara semakin tidak membaik. Perekonomian juga tidak mengalami pertumbuhan, akibatnya muncul masalah-masalah sosial. Dengan kondisi seperti itu mengundang keprihatinan rakyat, yang akhirnya memasuki bulan Mei 1998 mahasiswa di berbagai daerah mulai mengadakan demonstrasi.
Susunan Agenda Reformasi 1998
Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi yang isinya sebagai berikut:
- Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
- Amandemen UUD 1945.
- Penghapusan dwifungsi ABRI.
- Otonomi daerah yang seluas-luasnya.
- Supremasi hukum.
- Pemerintahan yang bersih dari KKN.
Baca juga: Gerakan reformasi Indonesia
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru dimulai sejak penandatanganan perjanjian pemberian dana bantuan IMF. Pemberian dana bantuan tersebut mengandung dua kelemahan.
Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan itu, karena pemberian dana bantuan tersebut adalah utang luar negeri yang harus dibayarkan kembali oleh Indonesia beserta dengan bunganya walaupun dengan persentase yang rendah.
Kelemahan kedua adalah penerapan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) dari IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut.
Structural Adjustment Program adalah persyaratan IMF bagi Indonesia dalam empat bidang utama (pengetatan kebijaksanaan fiskal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia, dan memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga). Dengan penerapan Structural Adjustment Program tidak terwujud dalam perbaikan ekonomi nasional signifikan.
Demo mahasiswa
Dengan banyaknya aksi demonstrasi, membuat aparat keamanan kewalahan dan bertindak keras terhadap aksi tersebut. Akibatnya bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan tidak dapat dicegah. Pada tanggal 12 Mei 1996 mahasiswa berdemonstrasi di Universitas Trisakti.
Aksi damai tersebut berubah menjadi insiden bentrokan dengan aparat ketika mahasiswa ingin melakukan long march menuju gedung DPR/MPR.
Dalam insiden tersebut empat mahasiswa tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Empat mahasiswa tersebut adalah : Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka mendapat gelar Pahlawan Reformasi.
Sebelum insiden Tri Sakti tersebut, di Jogjakarta seorang mahasiswa yang bernama Moses Gatotkaca tewas ketika melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses Gatotkaca meninggal pada tanggal 8 Mei 1998.
Kejadian Tri Sakti tersebut memicu terjadinya kerusuhan massa pada tanggal 13 dan 14 Mei di Jakarta dan sekitarnya. Tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia.
Pascatragedi ini suasana Jakarta sangat tegang, hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 19 Mei 1998 oleh para mahasiswa. Mereka melakukan Long March menuju gedung DPR/MPR dengan tujuan menuntut turunnya Presiden Soeharto, menggelar Sidang istimewa MPR, dan pelaksanaan reformasi total dalam tubuh pemerintahan negara.
Di Jogjakarta mahasiswa dan masyarakat berkumpul di alun-alun mendengarkan maklimat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VII mengenai kondisi negara yang sedang tegang. Inti dari maklumat tersebut adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Baca juga: Sejarah terjadinya reformasi di Indonesia
Pembentukan Komite Reformasi
Pada tanggal 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang sembilan tokoh masyarakat ke Istana Negara dengan agenda membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Sembilan tokoh tersebut adalah :
- Nur Cholis Madjid
- Abdurahman Wahid
- Emha Ainun Nadjib
- Ali Yafie
- Malik Fadjar
- Cholis Madjid Baidlowi
- Sutrisno Muhdam
- Ma’aruf Amir
- Ahmad Bagdja
Dalam pertemuan tersebut sepakat membentuk Komite Reformasi. Tugas komite ini adalah menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Anti-Monopoli, UU Anti-Korupsi dan lainnya.
Lengsernya Presiden Soeharto
Berbagai tokoh masyarakat seperti Amien Rais dan Emil Salim menyatakan kekecewaannya dengan keputusan Presiden Soeharto tersebut, penyebabnya adalah presiden meminta pemberian waktu enam bulan untuk menggelar pemilu secara konstitusional.
Namun, hal tersebut tidak dinyatakan dalam keputusan beliau selepas pertemuan itu selesai. Emil Salim dengan melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga, yaitu tanggal 20 Mei 1998.
Pada tanggal 20 Mei 1998 Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeleine Albright memberikan pernyataan yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Madeleine menyatakan bahwa pengunduran diri Soeharto sudah semestinya dilakukan untuk memberikan jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia dan kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Soeharto untuk menorehkan langkah historisnya sebagai negarawan.
Pada pukul 14.30 tanggal 20 Mei 1998 sejumlah 14 menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita, menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali dalam Kabinet Reformasi. Pada pukul 16.45, perwakilan mahasiswa dan pimpinan DPR/MPR mengaakan pertemuan di lantai 3 gedung lama MPR/DPR.
Dalam pertemuan tersebut mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto hingga hari Jumat, tanggal 22 Mei 1998. Jika tidak ada kepastian, maka pada hari Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Akibat adanya desakan dari para mahasiswa dan masyarakat, serta mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara, pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 19.06 WIB Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi presiden Republik Indonesia. Bertempat di Credential Room, Istana Negara Jakarta dengan disaksikan oleh Mahkamah Agung.
Pengalihan kekuasaan setelah mundurnya Presiden Soeharto
Soeharto mengakhiri jabatannya sebagai Presiden RI. Naskah pengunduran diri Presiden Soeharto ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra dengan judul “Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden RI”.
Segera setelah Soeharto mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah Baharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Pengalihan kekuasaan tersebut sesuai dengan pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi “Jika Presiden Mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis waktunya”.
Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berlangsung selama 32 tahun di Republik Indonesia.