Kiprah Naguib Mahfouz di dunia sastra – Naguib Mahfouz menerbitkan trilogi novel yang berjudul Kairo Trilogy. Novel tersebut menjadi karya puncak dalam sejarah kesusastraannya. Karya tersebut juga berhasil melambungkan namanya di seluruh dunia Arab.
Novel Trilogy setebal 1500 halaman ini juga sanggup membuatnya memenangkan anugerah Nobel Sastra dari Akademi Sastra Internasional di Swedia. Ia menjadi satu-satunya novelis Arab yang berhasil meraih penghargaan Nobel di bidang sastra pada tahun 1988.
Nadine Gordimer telah mencoba menelisik keberagaman Mahfouz. Menurutnya, jika kita ingin mencari buku yang tepat untuk melacak posisi Mahfouz dalam kaitannya dengan iman (agama), maka kita harus mengingat Kamal, seorang tokoh yang secara brillian digambarkan dalam novel Trilogy. Di situ ia menyatakan: “Pilihan terhadap keimanan belum ditentukan. Hiburan menarik yang ku miliki, ya seperti ini, belum berlalu.”
Mahfouz merupakan sebuah pengembaraan tatkala seseorang harus mencari sendiri papan arahnya. Teks yang menunjukkan hal ini ada dalam cerita pendek Zaabalawi. Cerpen tersebut menceritakan tentang seorang berpenyakit yang menjelajahi kawasan Kairo kuno demi mencari kesembuhan dari seorang tokoh suci bernama Syekh Zaabalawi.
Tokoh suci tersebut misterius. Setiap orang yang mengenalnya menginformasikan tempat yang berbeda-beda untuk bisa menemuinya. Hingga akhirnya seorang yang berpenyakit tersebut datang ke sebuah bar Negma Bar, untuk menemui Haag Wanas l-Damanhouri, seorang pemabuk yang diketahui paling sering bertemu Zaabalawi akhir-akhir itu.
Dalam pidato penerimaan Nobelnya, Mahfouz mengaku : “Saya adalah putra dua peradaban yang di waktu tertentu dalam sejarah, telah melangsungkan sebuah perkawinan bahagia. Yang pertama telah berusia 7000 tahun, peradaban Fir’aun, dan yang kedua telah berusia 1400 tahun, peradaban Islam.”
Karya Mahfouz banyak menggunakan tema sejarah dengan latar belakang Mesir. Mahfouz banyak mengambil gambar/memotret kehidupan sosial, politik, agama, dan kebudayaan Mesir dahulu hingga sekarang.
Gaya penulisan tersebut tidak pernah berganti. Ia konsisten mengangkat khazanah peradaban dan kebudayaan Mesir. Ia menggunakan gaya yang realistis dan menekankan pada kenyataan di lapangan terhadap apa yang dilihatnya.
Karya Mahfouz yang berjudul Kairo Trilogy merupakan gambaran perubahan nasib tiga generasi sebuah keluarga di Kairo dari tahun 1920-an hingga akhir perang Dunia II. Tema yang diangkat memang beragam, mulai agama hingga ke persoalan politik.
Akan tetapi, ia tidak pernah melepaskan batas-batas teritorial. Ia selalu menggunakan Mesir sebagai basis bercerita dan mengarang. Gaya mengarangnya terus berkembang dengan menambahkan eksperimentasi yang lebih impresionis dan bercorak psikologis.
Pergeseran serta perubahan dalam tema dan gaya cerita-cerita Mahfouz juga tetap menjadi subjek menarik bagi peneliti sastra Arab mana pun. Elias Khoury seorang novelis dari Libanon menyimpulkan bahwa novel-novel Mahfouz adalah bentangan sejarah bentuk novel, dari fiksi sejarah hingga roman, saga, dan kisah picaresque serta karya dalam gaya realis, modernis, naturalis, simbolis, dan absurdis.
Karya-karya fiksi Mahfouz umumnya dibagi dalam empat periode yang longgar mengikuti pemilihan oleh Ali Houissa, seorang bibliografer pada Studi Timur Tengah dan Islam di Cornell University, yakni periode roman sejarah, realisme, surealisme, dan sufistik.
Periode pertama adalah tahap awal sastra Mahfouz saat menulis sejumlah cerita pendek dan tiga novel tentang era Mesir Kuno pada tahun 1930-an. Mahfouz terinspirasi oleh penemuan harta karun Tutankhamen dan relik lain dari peradaban Mesir Kuno.
Ia bahkan menerjemahkan buku Ancient Egypt karya James Baikie. Dalam inspirasi itu ia berencana membuat 40 seri novel dengan latar Mesir Kuno, tetapi gagal. Ia hanya mampu menghasilkan Abath al-Agdar (1939), Radubis (1943), dan Kifah Tyba (1944).
Periode selanjutnya, karya Mahfouz terpusat pada realisme dengan merekam kronik modern Kairo, diantaranya dalam Khan al-Khalili (1944), Al-Qahirah al-Jadidah (New Cairo, 1946), dan Bidayah wa-Nihayah (The Beginning and the End, 1949).
Karyanya yang monumental dan dianggap magnum opus adalah Kairo Trilogy (Al-Thulatiya, 1956-1957) yang terdiri dari dari Bain al-Qashrain (Palace Walk, 1956), Quast al-Shawq (Palace of Desire, 1957).
Surealisme Mahfouz mencapai puncaknya pada Awlad Haretna (Chidren of Gebelawi atau Childen of the Alley, 1967). Dalam novel tersebut, majas mencapai kepenuhannya, terutama alegori terhadap kisah para nabi. Misalnya pembaca secara mudah menangkap kemiripan kisah tokoh utama novel tersebut, Gabal, dengan Nabi Musa.
Pada periode berikutnya, Mahfouz memasuki masa-masa perenungan dengan cerita-cerita yang lebih filosofis. Menahem Milson, peneliti sastra dari Harvard University menjulukinya sebagai filsuf-novelis Kairo.
Sebagai sastrawan Arab Modern, Mahfouz telah mengawinkan sastra klasik Arab dan bentuk naratif modern. Karya terakhir Mahfouz yang terbit pada tahun 2005, The Seventh Heaven merupakan koleksi kisah-kisah tentang kehidupan sesudah mati, seakan-akan menjadi pralambang kematiannya sendiri.
Ingin mengenal lebih jauh Mahfouz? Silahkan baca Naguib Mahfouz penerima Nobel sastra tertua sepanjang sejarah
“Saya menulis The Seventh Heaven karena percaya sesuatu yang baik akan terjadi pada saya sesudah meninggal. Spiritualisme bagi saya adalah hal penting dan terus-menerus memberikan inspirasi pada saya,” katanya pada Desember 2005.