Kepulauan Karibia – Gugusan pulau atau kepulauan yang disebut Kepulauan Antilen sebenarnya adalah puncak-puncak jajaran pegunungan yang berada di bawah permukaan laut. Kepulauan yang menjulang tinggi dan menghijau ini melengkung seperti busur dari Florida sampai ke Venezuela dan menandai batas Laut Karibia.
Kepulauan ini dibagi menjadi dua gugusan pulau utama. Kepulauan Antilen Besar terletak di sebelah utara dan terdiri atas empat pulau yang cukup besar yaitu Jamaika, Kuba, Hispanyola (yakni sebuah pulau yang menjadi milik bersama dua negara Haiti dan Republik Dominika), dan Puerto Riko. Kepulauan Antilen Kecil merupakan batas Laut Karibia di sebelah timur dan mencakup kepulauan yang terletak di lepas pantai utara Amerika Selatan.
Sampai akhir tahun 1970-an dalam hal tertentu sebagian besar Kepulauan Antilen Kecil mempunyai hubungan dengan berbagai negara Eropa. Suatu gugusan pulau di separuh bagian utara Kepulauan Antilen itu disebut Kepulauan Leeward. Suatu gugusan lain yang terletak di separuh bagian selatan disebut Kepulauan Windward. Seluruh daerah Kepulauan Antilen lebih dikenal sebagai Kepulauan Hindia Barat.
Kepulauan Karibia terletak di daerah tropis, tetapi karena adanya angin pasat timurlaut, panasnya biasanya tidak begitu menyengat. Beratus ribu pelancong berdatangan dari utara dan dari Eropa setiap musim dingin untuk menikmati iklimnya yang nyaman itu. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi, tetapi cuaca berhujan sehari penuh sama langkanya dengan cuaca cerah sepanjang hari.
Keadaan cuaca di daerah ini ideal. kecuali pada memuncaknya mu sim angin topan pada bulan Agustus dan September. Tanah di kepulauan ini subur. Pada abad ke-17 dan ke-18 kepulauan Karibia terkenal sebagai Kepulauan Gula. Pada masa itu kepulauan Karibia memberi keuntungan paling besar kepada berbagai negara Eropa yang menguasainya sebagai koloni.
Sebagian besar penduduk kepulauan itu berkulit hitam dan berdarah Afrika. Penduduk kulit hitam Karibia pertama yang berasal dari Afrika dimasukkan ke sana sebagai budak oleh para pemilik perkebunan Eropa. Namun, telah banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Eropa sehingga di antara mereka lebih banyak yang berkulit sawo matang daripada yang berkulit hitam.
Sejumlah orang India, yang di daerah Karibia ini disebut orang Hindia Timur, mulai datang kesana pada kira-kira pertengahan abad ke-19 sebagai buruh kontrakan. Mereka terutama dimasukkan ke Trinidad, yang diperoleh Inggris dari tangan Spanyol melalui sebuah perjanjian pada tahun 1802.
Spanyol boleh dikatakan hanya memasukkan sedikit budak ke Trinidad sehingga pulau itu kekurangan tenaga kerja untuk menggarap perkebunan tebu yang cukup besar. Setelah Parlemen memberikan suara setuju terhadap penghapusan perbudakan di Imperium Inggris pada tahun 1833, orang Hindia Timur yang berasal dari imperium Inggris yang maha luas di India mulai dikontrak untuk bekerja di Trinidad serta di berbagai pulau lainnya.
Sekarang ini penduduk Karibia-baik yang berkulit hitam, sawo matang, maupun putih-hidup di berbagai negara yang berdaulat, bebas dari kekuasaan kolonial. Terdapat 11 negara merdeka di Kepulauan Antilen yaitu Kuba, Haiti, Republik Dominika, Jamaika, Trinidad dan Tobago, Grenada, Barbados, Dominika, St. Lucia, St. Vincent dan Grenadine, serta Antigua dan Barbuda.
Kuba, Haiti dan Republik Dominika menjadi negara merdeka sebelum abad ini, sedangkan kedelapan negara lainnya itu baru memperoleh kemerdekaan belakangan ini, yakni antara tahun 1962 sampai tahun 1982.
Sebagian besar penduduk di ketiga negara tersebut menginginkan kemerdekaan yang sejati, ingin menentukan nasib mereka sendiri tanpa campur tangan dari luar. Bahkan Kuba yang komunis itu pun menyatakan dirinya sebagai anggota terkemuka negara nonblok atau Dunia Ketiga walaupun negara ini menerima bantuan ekonomi besar-besaran dari Uni Soviet.
Semua negara kecil tersebut waspada terhadap dominasi negara tetangga mereka yang besar, yaitu Amerika Serikat, sekalipun mereka menyadari bahwa dalam banyak hal mereka dapat memanfaatkan kekayaan Amerika. Tidak diragukan lagi bahwa kepariwisataan Amerika merupakan suatu faktor yang penting dalam perekonomian Karibia.
Bebas dari dominasi negara asing mungkin merupakan keinginan bersama yang paling kuat di berbagai negara kecil di Karibia saat ini. Namun, pada hakekatnya semua bangsa yang ada di Kepulauan Karibia itu pun adalah bangsa asing.
Semuanya adalah keturunan bangsa yang aslinya berasal dari bagian dunia tertentu lainnya-baik Eropa, Afrika, maupun Asia. Berbagai bangsa itu, baik dalam keadaan bebas ataupun terbelenggu, sama-sama dibawa oleh bangsa Eropa yang kolonial itu sewaktu mereka membanjiri Dunia Baru.
Kunjungi google map
Penemuan Kepulauan Karibia
Laut Karibia dan kepulauannya ditemukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492. Mungkin mula-mula dia mendarat di San Salvador di Kepulauan Bahama. Dalam pelayarannya yang pertama dia juga mengunjungi Kuba dan Hispanyola. Saat itu Columbus sedang mencari jalur sebelah barat yang menuju ke Timur, dengan membawa serta sepucuk surat pengantar yang ditujukan kepada Khan Yang Agung dari Cina.
Namun, perhitungan yang dijadikan pemandu perjalanannya itu ternyata kurang teliti. Dia tahu bahwa bumi ini bulat, tetapi tidak tahu seberapa besarnya. Dia mengira bahwa Kuba adalah bagian dari daratan Cina.
Orang Indian
Columbus terpesona oleh penduduk pribumi pulau itu. Mereka ubah bentuk kepala mereka dengan cara menekan tengkorak mereka dengan sebilah kayu sewaktu masih kanak-kanak. Penduduk pulau itu bertubuh tinggi dan lemah-lembut gerak-geriknya, bermata hitam indah, serta murah senyum.
Mereka adalah bangsa yang ramah, bahagia dan suka bersenang-senang. Makanan pokok mereka adalah singkong, yakni sejenis akar yang mengandung pati, dan jagung. Permainan yang digemari penduduk pulau itu antara lain adalah permainan melambungkan bola dengan bagian belakang tumit sampai ke atas bahu. Seorang pemain yang trampil mampu menahan bolanya lama di udara.
Dalam laporannya kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol, Columbus menyinggung tentang mereka, “Mereka begitu memikat, begitu damai, sehingga hamba berani bersumpah kepada Paduka Yang Mulia bahwa tidak ada bangsa atau pun negara yang mampu mengunggulinya di muka bumi ini.
Mereka mencintai tetangga mereka seperti mereka mencintai diri mereka sendiri dan tutur kata mereka serba manis dan lemah lembut serta disertai senyum. Bangsa Indian yang dikisahkannya itu adalah suku Arawak, yaitu orang Indian yang dahulunya menghuni Kepulauan Karibia, tetapi kini sudah punah, kecuali beberapa keturunannya yang masih ada di Puerto Riko.
Di daerah tersebut yaitu di Kepulauan Windward dan Kepulauan Leeward terdapat pula suatu bangsa yang sangat berbeda, yaitu orang Karib. Columbus kelak bertemu dengan mereka dalam pelayarannya yang kedua.
Menurut catatan, orang Karib bertubuh tinggi dan berkulit sawo matang serta berambut hitam legam dan panjang, yang setiap hari dihiasi dengan cermatnya. Rambut mereka dipotong pendek hanya kalau sedang berdukacita. Seperti halnya orang Arawak, mereka pun mengubah bentuk kepala mereka, tetapi dengan cara yang berlawanan. Kepala anak mereka dijepit dengan kayu pada bagian dahi dan belakang sehingga akhirnya bentuk kepala mereka akan menyerupai kotak.
Mereka memarut pipi dengan irisan yang dalam, kemudian parut itu dicat hitam. Bagian di sekitar mata dihias dengan lingkaran hitam dan putih. Banyak di antara orang Karib menindik hidung mereka dan memasang tulang atau sepotong kulit penyu pada lubang tindikan itu.
Gelang yang dikenakan pada lengan dan pergelangan kaki mereka terbuat dari gigi yang diambil dari musuh mereka yang sudah mati. Anak lelaki Karib diajar menggunakan busur dan anak panah dengan cara menggantungkan makanannya jauh tinggi di atas pohon sehingga dia akan terus kelaparan sampai dia mahir merontokkan makanan itu dengan anak panahnya.
Berbeda dengan orang Arawak yang lemah lembut itu, orang Karib gemar berkelahi. Mereka berasal dari Amerika Selatan dan setapak demi setapak merintis jalan menuju ke Kepulauan Karibia, sambil membantai para pria dari suku lain serta menawan para wanitanya untuk dijadikan budak. Mereka termasuk manusia kanibal. Di Guadeloupe (di Kepulauan Leeward), Columbus tercekam kengerian ketika melihat anggota tubuh manusia menggelantung dari kasau gubug orang Karib dan mayat seorang pemuda yang sedang direbus.
Orang Karib selalu haus perang dan di Kepulauan Windward mereka berperang dengan gigih dan bengisnya melawan para penyusup Eropa. Di Pulau Grenada kurang lebih 40 orang di antara mereka rela terjun dari tebing yang tinggi daripada tertangkap oleh musuh.
Tebing itu sekarang dinamakan Loncatan Karib, sedangkan nama desa di dekatnya adalah Sauteurs, yang berarti ”penerjun” atau ”peloncat” dalam bahasa Prancis. Perlawanan mereka baru berakhir sama sekali setelah akhir abad ke-18, pada saat itu praktis tidak ada lagi orang Karib yang tersisa. Sebuah koloni hunian mereka yang kecil dan kini damai sampai sekarang masih ada di daerah permukiman di Dominika di Kepulauan Windward.
Kolonisasi Spanyol di Kepulauan Karibia
Tingkat perkembangan berbagai pulau di Kepulauan Antilen itu sebagian besar bergantung kepada masing-masing negara yang menjajah mereka. Negara Eropa pertama yang mendirikan koloninya adalah Spanyol.
Orang Spanyol yang berlayar bersama-sama dengan Columbus dalam ekspedisinya yang kedua itu berbekal tiga hal-yaitu Tuhan, kejayaan, dan emas. Mereka bercita-cita untuk mengkristenkan orang kafir, mereka ingin memakmurkan diri mereka sendiri; dan mereka ingin membawa pulang bongkahan emas.
Sayangnya, ternyata hanya sedikit emas dan perak yang terdapat di Kepulauan Antilen dan orang Spanyol tidak menyadari adanya peluang komersial yang dikandung oleh pengembangan pertanian di daerah itu. Tujuh belas buah kapal menyertai Christopher Columbus dalam pelayarannya yang kedua.
Mereka membawa serta berbagai macam benih untuk ditanam di sana guna mencukupi kebutuhan pangan para pemukim. Mereka menanam gandum, jewawut, tebu, jeruk, semangka, dan limau. Mereka juga memelihara ternak piaraan termasuk sapi, kambing, kuda, dan unggas.
Meskipun orang Spanyol tahu apa yang dibutuhkan oleh kepulauan itu sekiranya orang kulit putih akan tinggal di sana, mereka tidak tahu apa yang dapat diberikan oleh kepulauan itu kepada mereka. Misalnya, dalam pelayaran Columbus yang pertama, seorang utusan yang dikirim ke daerah pedalaman Kuba melaporkan bahwa dia melihat orang yang membawa ranting yang bernyala.
Mereka memasukkan ranting itu ke dalam mulut, menghisap asapnya, dan kemudian menghembuskannya ke udara. Pada kenyataannya, mereka itu sedang merokok. Namun, Columbus tidak mengetahui bahwa tembakau Kuba itu merupakan sumber harta yang sangat andal. Yang ada dalam benaknya hanyalah emas semata. Dia memaksa orang Arawak untuk menggali emas.
Bangsa yang suka bersantai-santai dan lemah-lembut ini tidak sudi diperintah dan terkadang ada di antara mereka yang digantung karena pembangkangan itu. Mereka berusaha membebaskan diri dengan jalan melakukan bunuh diri massal. Dalam waktu beberapa tahun saja hampir tidak ada lagi orang Arawak yang masih hidup.
Orang Spanyol terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri sehingga tidak menggubrisnya. Akhirnya, mereka pun menemukan emas dan perak yang selama itu mereka cari-cari di Dunia Baru di Amerika Tengah dan Selatan. Lalu mereka sibuk mengurusi armada besar yang akan mengangkut emas dan perak yang bakal memenuhi peti besi Seville dengan emas dan perak batangan.
Bajak Laut dan Harta Karun
Selama abad ke-16, keperkasaan, kemegahan, jajahan, dan kekuasaan Imperium Spanyol mencapai zaman keemasannya dan menimbulkan rasa iri di kalangan negara adidaya lainnya di Eropa yang merasa tidak kebagian harta karun Dunia Baru itu.
Bajak laut mulai merampok kapal-kapal Spanyol dan menyandera berbagai kota kecil di Spanyol. Orang Inggris yang bernama Francis Drake merupakan petualang paling terkemuka yang menantang kekuasaan Spanyol dan merampas harta karunnya.
Sampai batas tertentu Drake memperoleh dukungan resmi dari pemerintahnya; bagaimanapun juga ternyata dia dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Ratu Elizabeth sewaktu dia kembali dari pelayarannya mengelilingi dunia dengan kapalnya Golden Hind. Namun, banyak di antara para petualang yang lain dianggap tidak lebih dari penyamun.
Masalah yang dihadapi oleh Spanyol di Dunia Baru timbul karena kerakusannya sendiri. Karena merasa tidak tertarik lagi kepada Kepulauan Antilen begitu ditemukan emas dan. perak di Amerika Selatan, Spanyol mencurahkan segenap perhatiannya semata-mata kepada armada harta karunnya yang berlayar dua kali dalam setahun guna mengangkut kekayaan dari Dunia Baru itu ke Spanyol.
Pada sistem tersebut pulau Hispanyola menjadi pusat administrasi yang berharga bagi Spanyol; Havana merupakan pelabuhan yang sangat penting; sedangkan Puerto Riko menjadi benteng dan garnisun yang amat bermanfaat. Berbagai pulau lainnya di Karibia tidak ada artinya sama sekali bagi kegiatan Spanyol di sana. Oleh karena itu, Spanyol tidak berjaga-jaga terhadap kemungkinan pengambilalihan bagian dari klaim totalnya atas Kepulauan Antilen.
Para pelaut Prancis, Belanda, dan Inggris tidak mau memberi peluang kepada Spanyol untuk menikmati segala sesuatu yang negara itu sendiri tak mampu melindunginya. Mulai abad ke-16 pameo “di luar garis” mulai dipakai di Eropa.
Pameo itu mengandung arti bahwa negara-negara Eropa menganggap diri mereka sendiri sepenuhnya bertanggung jawab atas berlakunya perjanjian perdamaian di sebelah utara kawasan tropis dan di sebelah timur Kepulauan Azore yaitu, di kawasan Eropa pada umumnya. Di luar garis itu yaitu suatu kawasan yang mencakup Karibia merupakan kawasan yang terbuka bagi siapa saja.
Di antara mereka yang menyambut hangat gagasan kebebasan untuk mencari mangsa ini adalah bajak laut, yang merajalela pada pertengahan abad ke-17. Julukan buccaneer bagi mereka itu berasal dari kata bahasa Prancis boucanier, yang berarti orang yang memanggang daging di atas boucan atau alat pemanggang dari kayu yang digunakan di atas api yang terbuka.
Gerombolan bajak laut itu terdiri atas orang yang tersisih yaitu orang yang tunawisma, sebatang kara, dan telah lama berpisah dengan keluarga mereka. Mereka terdiri atas pembangkang, buronan, dan perompak kapal karam yang akhirnya bermukim di Tortuga, yaitu sebuah pulau kecil yang terletak di lepas pantai utara Hispanyola. Gerombolan bajak laut itu juga mendirikan permukiman di Port Royal yang terletak di pesisir selatan Jamaika setelah Inggris berhasil merebut pulau itu dari tangan Spanyol pada tahun 1655.
Cerombolan bajak laut itu juga dikenal sebagai Saudara dari Pesisir. Seluk-beluk kehidupan mereka banyak yang terungkap berkat adanya orang Belanda bernama Esquemeling di tengah-tengah mereka, yang bertindak sebagai penulis biografi dan sejarah.
Gerombolan bajak laut itu pun mempunyai pakaian seragam sendiri, yaitu topi pet yang meruncing di bagian atasnya, jaket berlengan pendek yang terbuat dari kain, celana sebatas lutut, serta kemeja longgar yang diikat dengan sabuk untuk menyelipkan bayonet atau pisaunya. Bedil mereka biasanya lebih tinggi dari orangnya.
Untuk alas kaki mereka memakai sepatu mokasin yang terbuat dari kulit lembu atau kulit babi. Begitu lembu atau babi mati terbunuh, mereka segera mengulitinya dan meletakkan jari-jari kakinya pada kulit yang diambil dari bagian lutut hewan tersebut dan diikat dengan uratnya.
Kulit yang masih tersisa ditarik sampai ke suatu titik beberapa cm di atas lutut dan diikatkan di situ sampai mengering. Telapak kaki yang diinjakkan ke permukaan kulit lunak (basah) dengan cara seperti itu akan meninggalkan bekas yang tidak bakal berubah bentuknya pada kulit tersebut.
Persediaan pangan di Pulau Tortuga melimpah-ruah. Pulau itu sarat dengan ubi, pisang, nanas, dan buah lainnya. Di Pulau Hispanyola terdapat sejumlah besar kawanan babi hutan serta burung merpati.
Bajak laut itu juga menjual dendeng sapi liar kepada awak kapal yang pulang ke tanah air. Pada kenyataannya, mereka itu hidup mandiri. Yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan merompak itu bukanlah desakan kebutuhan, melainkan kebosanan dan nafsu untuk membalas dendam terhadap masyarakat.
Gerombolan bajak laut itu terus berjaya sampai tahun 1670-an. Menjelang masa itu mereka masih tetap berguna bagi Inggris dan Prancis, yang semula mendorong gerombolan bajak laut itu untuk merongrong berbagai koloni Spanyol di Dunia Baru.
Akhirnya, Spanyol menyadari juga berbagai kenyataan tentang posisinya di Karibia. Bekas musuhnya, yaitu orang Belanda, telah merosot kekuasaannya di Karibia. Namun, dalam menghadapi kegiatan Inggris dan Prancis, Spanyol terpaksa harus melepaskan hak milik yang tidak dibutuhkannya.
Spanyol membutuhkan Kuba, Puerto Riko, dan bagian timur Hispanyola. Akan tetapi, Jamaika, yang semula memang telah ditelantarkan oleh Spanyol, diserahkan secara resmi kepada Inggris pada tahun 1670. Trinidad tetap berada di bawah kekuasaan Spanyol semata-mata karena Inggris atau pun Prana cis tidak mengincarnya.
Akan halnya Kepulauan Windward dan Leeward, Spanyol membiarkan Inggris dan Prancis saling bertikai mengenai masalah itu, Ternyata, kawasan itu memang benar-benar menjadi ajang benturan ambisi kekuasaan Prancis dan Inggris selama satu setengah abad sehingga mengakiabatkan sebagian besar pulau di gugusan Windward dan Leeward itu mengalami peralihan kekuasaan lebih dari satu kali dalam sejarahnya,
Gula dan Perbudakan di Kepulauan Karibia
Orang Spanyol telah menelantarkan kepulauan Karibia semata-mata karena mereka lebih mengutamakan perak dan emas. Namun, orang Prancis dan Inggris mengetahui peluang yang amat sangat besar bagi kegiatan pertanian di kepulauan itu. Penduduk Eropa membutuhkan gula, sedangkan tanah dan iklim di Kepulauan Karibia benar-benar sesuai bagi produksi gula.
Pada abad ke-17 orang Eropa telah mulai merasakan nikmatnya teh, kopi, dan cokelat. Gula biasanya tidak pernah ketinggalan dalam meramu sajian minuman itu. Menjelang abad ke-18 seluruh dunia membutuhkan gula.
Kata “kreol” digunakan untuk setiap orang yang dilahirkan di kepulauan itu atau segala sesuatu yang berasal dari sana. Karena memuncaknya pamor gula, ungkapan “sekaya orang kreol” serta merta menjadi ungkapan yang populer. Nilai yang tak terperi yang dimiliki kepulauan itu dapat diukur dari kejadian berikut ini.
Pada tahun 1763, seusai Perang Saptawarsa, Inggris duduk di meja perundingan bersama-sama dengan Prancis dan Spanyol untuk menentukan yang mana di antara hak milik yang berhasil direbut Inggris dalam medan pertempuran itu yang harus dikembalikan kepada pemiliknya yang asli.
Bagi Inggris pilihannya adalah antara pulau Guadeloupe dan Kanada. Setelah terombang-ambing selama beberapa waktu, akhirnya Inggris memutuskan untuk mengembalikan Guadeloupe dan mempertahankan Kanada. Namun, kenyataan bahwa penentuan pilihan tersebut sangat sulit dilakukan sudah mencerminkan betapa pentingnya arti Kepulauan Karibia itu.
Kenyataannya, pelaksanaan perdagangan gula itu menghadapi satu kesulitan. Hanya sedikit orang kulit putih yang bersedia bekerja di perkebunan tebu di bawah teriknya sinar matahari tropis. Sudah tidak ada lagi penduduk pribumi yang dapat dipekerjakan di perkebunan itu karena hampir semua orang Arawak dan Karib telah habis dibunuh atau telah punah.
Bagaimanapun juga tenaga kerja harus didapat, maka orang Eropa bertekad untuk mendatangkan budak dari pesisir barat Afrika.
Orang Spanyol mendatangkan budak dari Afrika untuk pertama kalinya pada tahun 1510 dan menjelang abad ke-16 perdagangan budak telah merupakan kegiatan penting. Pencetus tahap utama kegiatan yang keji ini adalah seorang anggota marinir Inggris di zaman Ratu Elizabeth yang bernama John Hawkins yang pelayaran pertamanya dimulai pada tahun 1562.
Dia mengangkut beberapa ratus budak kulit hitam ke Karibia dari Pesisir Guinea Afrika. Perdagangan budak meningkat pada abad ke-17 dan mencapai puncaknya pada abad ke-18. Kini seluruh dunia sepakat bahwa perdagangan budak merupakan salah satu di antara kejahatan paling besar yang pernah dilakukan oleh umat manusia. Umat manusia di zaman sekarang masih merasakan akibat yang ditimbulkan oleh perdagangan itu.
Namun, pada abad ke-16 dan ke-17 (yang walaupun merupakan zaman Shakespeare, Milton, Cervantes, dan Rembrandt) hanya sedikit orang yang menganggapnya salah. Malah sebaliknya yaitu pada tahun 1663 atas perintah Raja Charles II dikeluarkanlah uang logam yang khusus digunakan dalam perdagangan budak di daerah Pesisir Guinea. Uang logam itu akhirnya dikenal sebagai guinea.
Orang Prancis mengkristenkan budaknya dan yakin bahwa mereka telah menyelamatkan jiwa budak itu. Orang Inggris tidak begitu mementingkan kesejahteraan jiwa budaknya. Mereka berkilah bahwa orang Kristen jangan sampai menjadi budak sehingga tidak perlu mengkristenkan budak.
Pada abad ke-19 tugas mengajarkan agama Kristen kepada orang kulit hitam di kepulauan jajahan Inggris itu sebagian besar diserahkan kepada para penginjil Gereja Baptis dan Gereja Metodis. Orang Spanyol pada umumnya tidak banyak terlibat dalam perdagangan budak, sebagian karena mereka tidak mempunyai daerah jajahan di pesisir Afrika.
Namun, mereka telah siap untuk memanfaatkan perilaku buruk para pesaingnya yang kurang hati-hati itu, dan dengan leluasa mereka membeli budak dari para pedagang Prancis. Belanda, dan Inggris. Namun, kenyataannya adalah saat ini sebagian besar penduduk yang berbahasa Spanyol di pulau-pulau Laut Karibia itu adalah orang kulit putih dan mulato.
Matra perdagangan budak itu dapat diukur menurut cakupannya pada saat meletusnya Revolusi Prancis pada tahun 1789. Pada saat itu terdapat 40 benteng Eropa di Pesisir Guinea dan lebih banyak lagi pos perdagangan budak, yang dikenal sebagai pabrik.
Di tempat itu para pedagang Eropa melakukan tawar-menawar dengan para kepala suku Afrika setempat untuk memperoleh budak, acapkali dengan cara menghasut serangan antar suku sehingga para narapidana yang tertangkap dapat diangkut ke barak di pesisir.
Keempat puluh benteng itu terbagi atas milik orang Belanda, Inggris, Portugis, Denmark, dan Prancis. Transaksi rata-rata setiap tahunnya ada|ah sekitar 75.000 budak. Tidak semua budak itu diangkut ke Karibia. Para petani tembakau di daratan Amerika Utara-di Virginia, misalnya ikut pula mengambil bagiannya. Pada tahun 1790 terdapat kira-kira 750.000 budak di negara bagian selatan Amerika Serikat yang baru saja merdeka itu.
Penyeberangan melalui‘Samudra Atlantik itu dikenal sebagai lintasan tengah. Selama berlangsungnya kampanye untuk menghapuskan perbudakan pada akhir abad ke-18 dan ke-19, dikeluarkanlah berbagai gambar yang mengerikan tentang budak-budak yang sedang digiring ke tempat penyekapan dalam keadaan terbelenggu.
Badan Legislatif Kerajaan Inggris yang bertugas menyelidiki perdagangan budak memperkirakan bahwa pada tahun 1789 sekitar seperdelapan di antara budak yang diangkut dari Afrika meninggal dalam perjalanan.
Sebagian besar penduduk kepulauan Karibia sekarang ini adalah keturunan budak yang mampu bertahan selama dalam perjalanan melalui lintasan tengah. Setiba di tempat tujuan, para pemilik baru dengan cermat menceraiberaikan anggota dari satu suku yang sama sehingga tidak akan ada kesamaan bahasa di antara mereka yang dapat dimanfaatkan untuk merencanakan suatu pemberontakan kelak.
Pada akhirnya mereka diajar menggunakan bahasa pemilik mereka sehingga sekarang ini bahasa Inggris digunakan antara lain di Barbados, Trinidad, Tobago, dan Jamaika; bahasa Spanyol di Kuba, Puerto Riko, dan Republik Dominika; sedangkan bahasa Prancis di Haiti, Martinique, dan Guadeloupe. Akan tetapi, di sana bahasa Eropa telah mengalami perubahan dan terutama di kepulauan jajahan Prancis, sebagian besar penduduk menggunakan logat Kreol yang agak berbeda dengan bahasa Prancis.
Di Dominika, Grenada, St. Vincent dan Grenadine, serta St. Lucia-kepulauan bekas jajahan Inggris yang semula dijajah Prancis suatu logat Kreol serupa juga digunakan di daerah pedalaman.
Warisan Afrika berhasil dilestarikan dalam kebudayaan rakyatnya dan juga dalam agamanya. Memang benar bahwa penduduk kulit hitam Karibia telah menerapkan agama orang Eropa. Di pulau jajahan Prancis dan Spanyol mereka menjadi penganut agama Katolik Roma.
Di pulau jajahan Inggris mereka biasanya menganut agama Metodis atau Anglikan. Namun, orang kulit hitam juga masih melestarikan berbagai upacara keagamaan Afrika kuno. Sekarang ini upacara voodoo, yang sebagian besar bersumber dari agama tersebut, masih terus hidup di Karibia, terutama di daerah pedalaman Haiti. Orang kulit hitam Hindia Barat juga mempunyai dukun yang disebut obeah.
Pada akhirnya, karena mereka merupakan golongan mayoritas, budak kulit hitam menganggap diri mereka sebagai penduduk asli, atau bangsa asli, Kepulauan Karibia.
Revolusi dab Abolisi
Sepanjang abad ke-18 budak dipekerjakan di perkebunan tebu. Banyak yang telah ditulis tentang perlakuan tidak senonoh yang dikenakan terhadap mereka dan tidak diragukan lagi bahwa berbagai tindakan yang mendirikan bulu roma juga telah dilakukan, terutama di tanah pribadi yang dikelola oleh para pengawas tanpa adanya tuan tanah.
Pemberontakan budak berlangsung sepanjang abad itu. Namun, menurut pendapat kaum penjajah kulit putih itu, biang keladi kericuhan yang lebih besar adalah orang mulato, atau ”orang kulit berwarna”. Mereka adalah hasil percampuran darah antara budak dan tuannya yang berkulit putih. Mereka itu kebanyakan bukan budak
Banyak di antaranya yang berpendidikan tinggi, terutama di pulau jajahan Prancis, karena para pemuda yang berasal dari keluarga campuran kulit hitam dan kulit putih seringkali disekolahkan di Paris. Sekembali mereka dari sana, mereka kadang-kadang bergabung dengan berbagai kelompok revolusioner.
Kemudian pada tahun 1789 meletuslah Revolusi Prancis. Parlemen revolusioner di Paris memaklumkan bahwa budak yang ada di koloni Prancis harus dibebaskan. Ketika para petani perkebunan berkilah bahwa perkebunan mereka tak bakal berjalan lancar tanpa adanya buruh budak, Robespierre, pemimpin revolusi Prancis yang kenamaan itu, menanggapi bahwa lebih baik kehilangan sebuah koloni daripada mengkhianati prinsip revolusi yang terpenting.
Tidak lama kemudian di Paris sendiri prinsip-prinsip revolusi itu telah banyak dikhianati dan pada akhirnya Prancis hanya kehilangan satu koloni saja, yaitu Saint-Domingue (Haiti). Telah diperkirakan sebelumnya bahwa kericuhan bakal ditimbulkan oleh orang mulato, tetapi ternyata budak berkulit hitamlah yang mencetuskan revolusi Haiti, yang bangkit mengobarkan pemberontakan terhadap tuan mereka pada tahun 1791.
Setelah berjuang sekian lamanya, akhirnya berdirilah sebuah negara kulit hitam yang merdeka, yaitu Haiti, pada tahun 1804. Akan tetapi, hal itu bertentangan dengan kehendak penguasa baru Prancis, yaitu Napoleon Bonaparte, yang gagal dalam usahanya untuk menaklukkan kembali penduduk kulit hitam itu, baik di Haiti maupun di berbagai pulau jajahan Prancis lainnya di Karibia.
Napoleon benar-benar berhasil memberlakukan kembali perbudakan di Guadeloupe, padahal sebelumnya telah dihapuskan oleh seorang gubernur Prancis yang revolusioner melalui pertumpahan darah besar-besaran. Di Martinique, yaitu koloni Prancis terbesar ketiga, revolusi tersebut sama sekali tidak memperlihatkan dampaknya.
Martinique direbut oleh Inggris tidak lama setelah berakhirnya revolusi dan tetap berada di bawah kekuasaan Inggris selama sebagian besar kurun waktu pasca revolusi, sampai akhirnya dikembalikan kepada Prancis pada tahun 1816.
Semasa di bawah kekuasaan Inggris para pemilik tanah perkebunan pribadi yang sesungguhnya tetap memiliki lahan mereka dan bahkan para pewaris mereka-tidak lebih dari segelintir keluarga-masih memiliki sebagian besar pulau itu sampai sekarang. Perbudakan di semua koloni Prancis baru dihapuskan pada tahun 1848.
Ironisnya, pulau-pulau koloni Inggris yang sebagian besar tidak terpengaruh oleh gelombang pasang demokrasi yang ditimbulkan oleh revolusi itu, malah merupakan koloni pertama yang menghapuskan perbudakan. Di Inggris sendiri, akhir abad ke-18 diwarnai dengan semakin meningkatnya gelombang aksi protes terhadap kebiadaban perbudakan.
Dengan diberlakukannya undang-undang oleh Parlemen, perdagangan budak dinyatakan terlarang di seluruh koloni Inggris pada tahun 1807. Kira-kira seperempat abad kemudian, yakni pada tahun 1833, Parlemen memberlakukan undang-undang yang menghapus perbudakan di seluruh koloni Inggris. Proses tersebut baru selesai pada tahun 1838.
Sebagaimana lazimnya dengan keputusan penting semacam itu, pertimbangan lain, di samping pertimbangan moral, ikut memegang peranan pula. Pada awal abad ke-19 Inggris telah berhasil memperoleh koloni baru yang menghasilkan gula di Hindia Barat serta di Asia.
Oleh karena itu, tidaklah luar biasa bagi Inggris saat itu kalau ternyata dapat memperoleh sediaan gula yang melebihi kebutuhannya. Di samping itu, kira-kira pada masa itu pula bit gula mulai ditanam orang di Eropa. Bit gula yang lebih rendah biaya pembudidayaannya itu diharapkan dapat menggeser kedudukan tebu sebagai sumber penghasil gula.
Disebabkan oleh semakin meningkatnya persaingan itu, harga gula acapkali merosot dan ungkapan ”sekaya orang kreol” hampir kehilangan maknanya. Para petani perkebunan di Hindia Barat tidak memiliki pengaruh ekonomi ataupun politik untuk membendung arus kampanye penghapusan budak. Dengan demikian, lembaga terkutuk itu lenyap untuk selama-lamanya dari kepulauan itu.
Perubahan dan Tantangan
Sebagian karena dihapuskannya perbudakan itu, abad ke-19 dan awal abad keZO merupakan kurun waktu panjang yang ditandai dengan resesi ekonomi bagi koloni Prancis dan Inggris di Kepulauan Karibia. Satu demi satu, tuan tanah lama kembali ke Eropa. Tanah perkebunan milik pribadi tidak diurus dengan semestinya oleh para agen sehingga akhirnya terpaksa dijual dengan harga pasar yang sudah jatuh.
Di koloni Inggris para petani perkebunan memperoleh imbalan yang besar bagi pembebasan budak mereka, tetapi sebagian besar petani perkebunan itu justru membawa pulang uang mereka ke Inggris dan bukannya menanamkannya di perkebunan mereka. Rumah yang besar-besar ditinggalkan begitu saja dan banyak kincir angin yang roboh.
Pada tahun 1887 ahli sejarah J.A. Froude berkunjung ke koloni Inggris di Hindia Barat dan sekembalinya di tanah air dia menulis laporan yang memprihatinkan tentang kehancuran menyeluruh yang disaksikannya di mana-mana. Memang, masa kejayaan yang penuh kebanggaan itu telah berlalu. Sudah tidak ada lagi tantangan di sana bagi para remaja Eropa yang berjiwa wiraswasta.
Sebenarnya masih ada tantangan di kepulauan tersebut bagi anak cucu orang kulit sawo matang dan hitam yang diangkut melintasi Samudra Atlantik dari berbagai pabrik di Pesisir Guinea. Sebagian besar orang kulit putih siap akan atau telah meninggalkan negeri itu. Kini orang kulit hitamlah yang wajib mengembangkan warisan demokrasi yang ditinggalkan oleh para penguasa kolonial, demi cita-cita mereka sendiri.
Jalan menuju ke pemerintahan sendiri bakal panjang dan berliku-liku dan baru seusai Perang Dunia II Inggris dan Prancis benar-benar mulai mengakhiri kekuasaan kolonial mereka dengan sepenuh hati. Prancis mengakhiri status kolonial atas hak miliknya di Karibia pada tahun 1946, ketika koloninya di Martinique dan Guadeloupe menjadi bagian seberang laut Prancis.
Kini para penghuni berbagai pulau yang tercakup dalam bekas koloni itu memiliki hak yang sama seperti yang dinikmati oleh setiap warga negara Prancis, termasuk hak memilih wakil rakyat di DPR Prancis.
Sebagian besar koloni Inggris telah menjadi negara merdeka. Jamaika serta Trinidad dan Tobago memperoleh kemerdekaan mereka pada tahun 1962. Barbados memperolehnya pada tahun 1966. Grenada, Dominika, St. Lucia, serta St. Vincent dan Grenadine menjadi negara merdeka pada tahun 1970-an. Antigua dan Barbuda memperoleh kemerdekaan pada tahun 1981, sedangkan St. Kitts-Nevis, pada tahun 1983.
Kepulauan Koloni Spanyol dan Amerika Serikat
Kepulauan yang dahulunya merupakan koloni Spanyol memiliki sejarah yang agak berlainan dengan bekas koloni Prancis dan Inggris. Spanyol adalah negara yang lebih lemah daripada Inggris dan Prancis pada abad ke-19.
Menjelang akhir abad itu Spanyol telah kehilangan koloninya di Karibia. Trinidad telah diserahkan kepada Inggris pada permulaan abad itu juga (1802) dan serta merta koloni itu kehilangan Suasana dan tradisi Spanyolnya.
Ketiga koloni Spanyol lainnya yailu Santo Domingo (Republik Dominika), Puerto Riko, dan Kuba-masih melestarikan bahasa Spanyol dan banyak kebudayaan tradisional Spanyol sampai saat ini. Republik Dominika menyatakan kemerdekaannya dari Spanyol pada tahun 1821, tetapi kemudian sejenak berada di bawah kekuasaan Spanyol lagi dan berhasil memperoleh kembali kemerdekaannya pada tahun 1865.
Akan tetapi, negara itu sangat lemahnya. Sementara itu, pamor Spanyol mulai merosot dan dibarengi oleh menanjaknya Amerika Serikat sebagai suatu kekuatan di belahan bumi itu. Spanyol kehilangan Kuba dan Puerto Riko seusai perang antara Spanyol dan Amerika Serikat pada tahun 1898. Puerto Riko menjadi milik Amerika Serikat, sedangkan Kuba menjadi sebuah negara merdeka.
Pada abad ke-20 sejarah ketiga bekas koloni Spanyol itu didominasi oleh Amerika Serikat. Apakah kebijaksanaan Amerika semata-mata beritikad baik atau buruk, hal itu merupakan masalah yang masih diperdebatkan. Puerto Riko ternyata benar-benar memetik keuntungan dari pertaliannya dengan Amerika Serikat.
Negara itu telah menikmati pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara mana pun juga’di kawasan Karibia dan pemerintahannya pun benar-benar demokratis. Akan halnya Kuba, modal Amerikalah yang menjadikan Kuba negara penghasil gula terbesar di dunia.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa rakyat Kuba dan rakyat negara lainnya di kawasan Karibia yang berbahasa Spanyol selama ini memang telah diperalat untuk kepentingan perusahaan Amerika dan bahwa sebagian besar rakyat masih dalam keadaan miskin. Amerika Serikat telah berulang kali ikut campur secara militer dalam urusan negara-negara di Karibia.
Republik Dominika (serta negara tetangganya yang terletak di Pulau Hispanyola, yaitu Haiti) pada kenyataannya diperintah oleh pemerintahan militer Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Pada tahun 1960-an semangat anti-Amerika di kawasan Karibia mencapai puncaknya lagi di Kuba, yang di bawah pemerintahan Fidel Castro telah memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Amerika Serikat dan membentuk negara komunis.
Saat ini Amerika Serikat masih terus menanamkan kekuasaan dan pengaruhnya yang mahabesar di Karibia, mungkin lebih besar daripada yang pernah dilakukan oleh negara kolonial mana pun juga di masa silam. Kepentingan perusahaan Amerika di sana sangat luas dan para wisatawan Amerika berbondong-bondong datang ke sana.
Di samping itu, kekuasaan militer Amerika pun masih mencengkeram kawasan itu. Akhir-akhir ini, yaitu pada tahun 1965, Amerika Serikat telah mengerahkan pasukannya ke Republik Dominika untuk menutup semua peluang bagi kaum komunis untuk memanfaatkan situasi kemelut yang tengah meliputi negeri itu.
Campur tangan Amerika itu banyak ditafsirkan sebagai mengandung makna bahwa Amerika Serikat tidak bakal merestui lagi adanya negara komunis seperti Kuba di kawasan Karibia.
Di lain pihak, campur tangan militer itu mungkin menimbulkan lebih banyak tentangan di Amerika Serikat sendiri dibandingkan dengan tentangan terhadap tindakan serupa yang mana pun di masa lalu. Sangat boleh jadi sudah tidak ada lagi peluang bagi negara mana pun, bahkan bagi Amerika Serikat sekalipun, untuk menentukan masa depan bangsa yang merdeka dan cinta kemerdekaan di kawasan Karibia.
Kini, setelah sekian lama sejarahnya diwarnai dengan dominasi kolonial, rakyat Karibia mungkin lebih bebas daripada di masa silam untuk menentukan nasib mereka sendiri. Setiap pulau memiliki latar belakang yang agak berlainan; masing-masing menghadapi berbagai problem yang berbeda.
Riwayat kawasan Karibia sekarang ini tidak lagi merupakan kisah satu kawasan karena kawasan ini kini terdiri atas sejumlah negara yang saling terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.
ALEC WAUCH, penulis, A Family of Islands.
Editor: Sejarah Negara Com