Kehidupan keagamaan dan kebudayaan Majapahit – Zaman kerajaan Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada, terdapat tiga golongan masyarakat penganut agama, yaitu pengenut agama Resi, penganut agama Siwa dan penganut agama Buddha. Tiga golongan masyarakat Majaphit tersebut disebut Tripaksa.
Filosofis Bhinneka Tunggal Ika
Empu Tantular dalam bukunya Sutasoma berusaha mempersatukan mereka dengan pengertian bahwa tiga agama tersebut sama. Ia mengemukakan ungkapan filosofis berbunyi Bhinneka Tunggal Ika, tana gana dharma mangrawa, yang artinya: berbeda-beda itu satu, tiada kebenaran bermuka dua.
Makna dari ungkapan itu ialah bahwa ketiga agama itu wujudnya berbeda, tetapi sebenarnya satu juga hakikatnya karena itu tidak dibenarkan bersikap berbeda.
Kisah Gajahmada dapat anda baca pada artikel: Gajah Mada dan Sumpah Palapa
Pemerintah mengatur ketertiban beragama dengan mengangkat pejabat yang mengatur kehidupan agama, yakni para Dharmadhyaksa bagi masing-masing agama.
Hayam Wuruk berusaha menegakkan ketertiban Tripaksa dengan memberi peringatan-peringatan agar segala peraturan yang telah ada harus dilaksanakan dengan baik.
Dengan hilangnya segala kejahatan berarti memberi ketenteraman kepada masyarakat dan para pertapa. Tindakan-tindakan tersebut berhubungan dengan penciptaan kestabilan nasional Majapahit.
Kebudayaan
Empu Prapanca melukiskan dalam kitab Negarakertagama kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di Majapahit. Ia melukiskan apa yang disaksikannya sendiri.
Setiap tahun dalam bulan Phalguna para menteri, para pembesar lainnya, raja-raja termasuk raja-raja di luar Jawa menghadap Raja Hayam Wuruk sambil mempersembahkan pembaktian-pembaktian mereka.
Pada saat-saati itulah di ibukota Majapahit, terutama di pasar penuh dengan pedagang-pedagang yang memamerkan barang-barang dagangannya.
Di kota diadakan arak-arakan membawa sebuah arca yang tinggi mengelilingi kota tujuh kali. Sesudah itu, orang-orang pergi ke Sitinggil dengan membawa sajian. Pada tanggal 14, Raja Wijil (keluar) ditandu mengelilingi kota diiringi para pembesar dan raja-raja. Rakyat menyambutnya di sepanjang jalan, alun-alun penuh dengan kereta berhias.
Pada bulan berikutnya, yaitu bulan Caitra diadakan apel tentara yang dihadiri oleh para menteri, para perwira tinggi dan para pemimpin agama. Pada upacara itu dibacakan pedoman-pedoman ketentaraan, yang disebut kapa-kapa.
Isinya menyatakan bahwa tentara tidak boleh serakah, mereka tidak akan menginjak jalan yang terlarang, dan tidak boleh mengambil milik candi agar negara tetap sejahtera.