Christopher Columbus menemukan Jamaika pada tahun 1494 dan berpendapat bahwa lahan ini adalah yang terindah di antara lahan lain yang pernah dilihatnya di Hindia Barat. Pulau yang terletak di tengah kawasan Karibia di sebelah selatan Kuba ini sampai sekarang masih terkenal karena keindahan alamnya yang luar biasa. Nama Jamaika berasal dari kata Indian Xamaica, yang berarti ”lahan kayu dan air”.
Jamaika mempunyai banyak sungai dan sungai-sungai kecil yang berarus deras. Namun, kenyataannya Jamaika adalah lahan pegunungan dan banyak di antaranya yang amat sangat indah-rimbun dengan pepohonan, menjulang menembus awan, dan sewaktu sinar surya menimpa lerengnya, terciptalah rona biru yang amat memesonakan.
Pegunungan yang paling tinggi dan paling terjal di Jamaika sebenarnya adalah yang disebut Pegunungan Biru; jajaran ini mencakup sebagian besar dari sepertiga bagian timur pulau itu. Dari sana, lahan semakin meruncing dan menjadi negeri bukit dan dataran tinggi yang agak rata, termasuk daerah yang sebagian besar tak terjangkau yang dikenal sebagai Negeri Kokpit.
Di daerah ini erosi terhadap dataran tinggi batu kapur telah menciptakan banyak jurang yang berbentuk kerucut terbalik yang disebut kokpit. Hanya sekitar 20% dari lahan Jamaika yang dapat disebut rata atau agak bergelombang. Sebagian besar lahan pesisir rata dan sarat dengan pantai yang indah.
Banyak hotel besar yang telah dibangun untuk menampung para wisatawan, terutama di pesisir sebelah utara, di Teluk Montego, Ocho Rios, dan berbagai tempat lainnya. Saat ini lebih dari 500.000 wisatawan dalam setahun mengunjungi Jamaika untuk menikmati buih ombak lautnya yang hangat dan iklimnya yang sejuk itu, baik di musim dingin maupun di musim panas. Pulau ini rimbun menghijau sehingga masih layak disebut surga khatulistiwa.
Lepas dari kemolekan dan kelebihan alamnya, Jamaika menghadapi berbagai masalah yang sangat nyata seperti yang juga dialami oleh negara berkembang lainnya di dunia ini. Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah yang terbesar. Sekitar 30% penduduk Jamaika termasuk golongan tunakarya, sedangkan yang telah mendapatkan pekerjaan, umumnya menerima upah yang sangat rendah.
Di samping itu, ketidakstabilan politik telah pula menjadi suatu masalah pada tahun 1970-an, yaitu tatkala Jamaika mencoba menerapkan sistem pemerintahan sosialis. Pemerintahan sosialis berhasil meningkatkan angka melek huruf, yang dahulunya sangat rendah itu, sampai ke tingkat 82% dan juga berhasil memperbaiki mutu perumahan.
Namun, kurun waktu tersebut ditandai dengan banyak kekerasan yang mengurangi minat para wisatawan untuk mengunjungi pulau itu dan menyeret Jamaika ke tepi jurang kebangkrutan pada tahun 1978. Pemerintah yang sekarang, yang telah memegang kekuasaan sejak tahun 1980, telah mengadakan serangkaian perembukan mengenai pinjaman untuk mencegah terjadinya kebangkrutan dan telah pula berupaya merangsang penanaman modal asing yang sangat dibutuhkan itu.
Geografi Jamaika
Jamaika bukanlah pulau yang besar. Wilayahnya adalah seluas 10.991 km2. Sebagian besar medannya yang bergunung itu cenderung memperciut areal lahan yang dapat-digarap secara menguntungkan dan, dengan demikian, semakin mempersempit ruang gerak hidup. Negara ini berpenduduk padat malah ada yang mengatakan terlalu padat dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang terlampau pesat.
Kunjungi di google map
Selain itu, Jamaika telah kehilangan sebagian besar warga negaranya yang berpendidikan tinggi dan berjiwa wiraswasta sebagai akibat adanya emigrasi ke Inggris pada tahun 1950-an, tahun 1960-an, dan belakangan ini, yakni setelah timbulnya serangkaian kekerasan di pulau itu, ke Amerika Serikat.
Kingston. Sejumlah besar penduduk daerah pedesaan Jamaika telah pindah ke Kingston, ibu kota dan sekaligus pusat perdagangan di pulau itu. Hampir seperempat jumlah seluruh penduduk Jamaika tinggal di Kingston dan sekitarnya, banyak di antara mereka adalah pendatang baru yang berasal dari daerah pedesaan Jamaika yang mencari lowongan pekerjaan yang lebih baik.
Berbagai industri baru telah dikembangkan, tetapi banyak pendatang baru ke Kingston yang tetap menganggur. Daerah permukiman yang kumuh dengan gubuk-gubuknya yang reyot telah bermunculan di tepi barat kota itu.
Pada sisi lain, Kingston merupakan kota dagang yang besar, suatu tempat yang amat sesuai untuk kegiatan pemerintahan, dagang, dan perbelanjaan. Kota itu pun mempunyai sisi yang bergairah. Pelabuhannya merupakan salah satu di antara pelabuhan alam yang terbesar di dunia dengan dermaga yang selalu sibuk dan penuh dengan kapal dagang serta awak kapal dari seluruh dunia yang berlabuh di sana.
Lahan Pertanian
Lepas dari adanya kecenderungan di kalangan penduduk Jamaika untuk bermigrasi ke Kingston dan berbagai kota lainnya, Jamaika masih tetap merupakan negeri yang sebagian besar terdiri atas daerah pedesaan. Sebagian besar petaninya adalah petani pemilik yang mengerjakan lahan pertanian kecil.
Kira-kira tiga perempat dari semua lahan pertanian di Jamaika mempunyai areal 2 hektar atau kurang dan mungkin seperdua dari lahan itu mempunyai areal kurang dari 0,2 hektar. Petani kecil di Jamaika mungkin mencari nafkah semata-mata untuk diri sendiri dan keluarganya pada tingkat yang mendekati usaha tani untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Banyak penduduk Jamaika yang miskin mempertahankan hidupnya dengan mengandalkan menu makanan yang relatif tidak bervariasi yang terdiri atas ubi, ketela, sukun, dan bahan pangan lain yang mudah didapat, seperti pisang dan buncis. Malagizi di kalangan bayi dan anak kecil sebagai akibat kekurangan protein masih cukup merajalela.
Namun, menu makanan penduduk Jamaika terkadang bervariasi juga. Menu itu mungkin menyertakan pula jagung, daging babi, kentang dan ketela, kepiting laut dan darat, daging ayam, telur, kari kambing, serta berbagai macam ikan dan kerang-kerangan, di samping sayur lada (sop berbumbu lengkap dengan daging, bayam atau calaloo, dan sayuran lainnya), serta ikan cod asin dicampur dengan buah pohon ackee.
Pertanian Besar. Pada sisi lain dari lahan pertanian kecil terdapat lahan perusahaan perkebunan besar yang arealnya mencapai ribuan are dan banyak di antaranya milik bangsa asing. Di satu pihak, lebih separuh dari semua lahan pertanian di Jamaika dikuasai oleh kurang dari 1% dari seluruh penguasa lahan.
Jelas terlihat adanya kebutuhan akan pemilikan lahan yang lebih merata dan pemerintah telah mengambil berbagai langkah ke arah itu. Di lain pihak, masalah yang dihadapi Jamaika di sektor pertanian adalah demikian rumitnya sehingga tidak mungkin dapat diatasi hanya dengan melaksanakan pembagian lahan saja.
Gula dan pisang merupakan komoditi ekspor utama di Jamaika. Sejak dahulu gula_adalah hasil pertanian utama di Jamaika, sedangkan pisang untuk pertama kalinya ditanam secara komersial pada akhir abad ke-19 dan telah lama pula menjadi hasil pertanian utama di Jamaika. Sejak dahulu industri gula Jamaika dikuasai oleh berbagai perusahaan besar. Lahan pertanian milik perusahaan biasanya mencakup lahan paling baik yang dahulu dikuasai oleh perusahaan perkebunan yang menggunakan tenaga kerja budak.
Menebang tebu sampai saat ini masih merupakan bidang pekerjaan yang berat, dan berupah rendah seperti dahulu. Penggunaan tenaga kerja biasanya bersifat musiman, yang berlangsung dari bulan Desember sampai bulan Mei, yakni selama musim panen tebu. Para buruh penebang tebu lebih banyak menganggur di luar musim panen.
Berbagai perusahaan yang memiliki lahan perkebunan memproses semua tebu yang ditanam di pulau itu, baik memurnikannya menjadi gula, maupun rum. Namun, kira-kira seperdua dari areal tebu itu ditanami oleh para petani kecil yang tidak terikat, sedangkan pihak perusahaan diwajibkan membelinya untuk diproses. Ribuan petani kecil juga menanam pisang dan kadang-kadang memasarkannya sebanyak satu atau dua tandan setiap minggunya.
Jamaika juga mengekspor bermacam buah jeruk, pimiento, dan kopi. Akan tetapi, komoditi ekspor yang paling menonjol adalah kopi yang dihasilkan di daerah Pegunungan Biru. Beberapa ahli kopi tertentu lebih menyukai kopi Pegunungan Biru ketimbang varietas kopi terbaik dari Amerika Selatan. Komoditi ekspor lainnya antara lain adalah cokelat, tembakau, dan kelapa.
Tata Guna Lahan yang Baru
Sudah sejak lama ekonomi Jamaika hampir sepenuhnya berupa ekonomi pertanian, yang sebagian besar bertumpu kepada gula, rum, dan pisang. Namun, sekarang ini sudah tidak lagi demikian halnya. Pada tahun 1950-an berbagai perusahaan besar Amerika Serikat dan Kanada mulai mengeksploitasi cadangan bauksit yang cukup besar di Jamaika.
Karena Jamaika tidak mempunyai cukup sumber listrik tenaga air yang murah dan diperlukan untuk tahap akhir produksi aluminium, maka sebagian besar boksitnya terpaksa diekspor dalam keadaan belum dimurnikan, terutama ke Amerika Serikat. Sekarang ini Jamaika merupakan salah satu negara pengekspor bauksit dan alumina terbesar di dunia.
Di samping itu, terdapat pula kegiatan kepariwisataan di sana. Selama ini volume kegiatan kepariwisataan di Jamaika masih kecil, tetapi pada tahun 1960-an pemerintah Jamaika telah melancarkan kampanye yang gencar untuk memekarkan fasilitas kepariwisataan dan untUk menarik para wisatawan.
Pada tahun 1972 pemerintahan sosialis memegang tampuk kekuasaan dan mulai melancarkan berbagai program pembaharuan. Berbagai sekolah dan rumah sakit baru dibangun, tetapi biaya impor minyak yang semakin melonjak dan merosotnya kegiatan kepariwisataan dan penanaman modal asing telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi. Saat ini sektor perekonomian sedang dirombak menuju ke sektor swasta. Para wisatawan dan penanam modal asing mulai berdatangan lagi dalam jumlah besar.
Penduduk Jamaika
Out of many, one people (”Berbeda-beda tetapi satu bangsa”) adalah semboyan yang tertulis pada lambang negara Jamaika. Dalam sejarahnya yang panjang itu Jamaika selamanya menjadi negara yang dihuni oleh penduduk yang terdiri atas berbagai ras dan kebangsaan.
Lebih dari 90% penduduk Jamaika berdarah Afrika. Di antara mereka itu, kira-kira satu di antara lima penduduk berdarah campuran sehingga golongan mayoritas disebut orang Afrika saja oleh biro sensus negara itu. Sekitar 15% penduduk Jamaika oleh biro sensus digolongkan sebagai orang Afro-Eropa, yang berarti berdarah campuran kulit hitam dan kulit putih.
Di samping itu, berbagai ras dan kebangsaan lainnya telah pula bermukim di Jamaika, antara lain orang India (yang di Karibia biasa disebut orang Hindia Timur), orang Cina, serta sejumlah kecil orang Libanon.
Lebih dari 30.000 orang India dan orang Cina dalam jumlah yang lebih kecil dibawa masuk ke Jamaika sebagai buruh kontrakan pada beberapa dekade setelah dihapuskannya perbudakan pada tahun 1838. Banyak di antara mereka tetap tinggal di sana meskipun masa berlakunya kontrak kerja sudah habis.
Orang Cina khususnya, seringkali memulai kegiatan usaha mereka secara kecil-kecilan. Sebagian besar orang Libanon berimigrasi ke Jamaika pada awal abad ke-20 dan umumnya menjadi pemilik toko atau pemilik restoran. Berbagai kelompok pendatang baru itu berbaur dengan golongan mayoritas Negro dan saat ini golongan Afro-Hindia Timur kira-kira sama banyak nya dengan golongan Hindia Timur, dan golongan Afro-Cina hampir sama pula banyaknya dengan golongan Cina.
Warisan campur-bangsa itu tercermin dalam berbagai segi. Bahasa Inggris adalah bahasa resmi di Jamaika, tetapi sebagian besar penduduknya menggunakan suatu logat singkat padat yang disebut ungkapan Jamaika, yang mengandung berbagai unsur bahasa Inggris zaman Elizabeth (abad ke-16) dan bahasa Afrika. Ungkapan itu sangat sulit untuk dipahami oleh para pengunjung yang berasal dari Inggris atau Amerika.
Warisan Afrika negara itu juga jelas terlihat pada kesenian rakyatnya serta beberapa di antara kultus dan tata cara keagamaannya. Beberapa di antara kepercayaan lama terpusat pada roh jahat yang disebut duppy, yang menurut tradisi menghuni akar pohon kayu kapas.
Ada pula legenda tentang Anak Sapi Bergulingan, yang menurut bayangan mereka menyemburkan api dari cuping hidungnya dan bergentayangan di jalan desa. Barang siapa yang bertemu dengannya sama dengan berhadapan dengan maut.
Agama para petani kecil di masa silam antara lain adalah Kristen serta aliran kepercayaan obeah meskipun tidak begitu mencolok. Kata obeah berasal dari kata obayifo-kosakata bahasa Ashanti di Afrika, yang berarti ”dukun”. Dengan demikian, seorang obeah berarti semacam dukun.
Sejalan dengan kemajuan yang dicapai di bidang pendidikan, takhayul lama. telah berkurang. Perbedaan antara ras sudah tidak begitu kentara lagi. Namun, kesenjangan tetap ada. Orang kulit putih mencakup kurang dari 1% dari jumlah penduduk, tetapi kekayaan mereka jauh melampaui jumlahnya.
Di lain pihak, terlihat adanya kemiskinan yang nyata di kalangan penduduk Jamaika yang berkulit hitam atau sawo matang. Meskipun hubungan di antara berbagai ras serasi, kenangan getir dari zaman perbudakan masih saja terbawa sampai sekarang. Pemerataan kekayaan di antara berbagai ras itu merupakan tantangan terbesar yang dihadapi Jamaika saat ini.
Sejarah Jamaika
Sejauh yang kita ketahui, penghuni pertama Jamaika bukanlah orang kulit hitam atau pun kulit putih. Mereka adalah suku Ciboney yang tinggal di gua, yaitu orang Indian yang berasal dari Florida yang hidup dari memakan ikan dan menghias tubuh mereka dengan bahan pewarna merah atau kuning.
Mereka didesak secara diam diam oleh suku Arawak, yaitu orang Indian yang cinta damai dan berasal dari Venezuela.
Setelah penemuan Jamaika oleh Columbus pada tahun 1494, Spanyol mencaplok pulau itu, mengusir atau membantai orang Arawak, dan mendatangkan budak dari Afrika.
Orang Spanyol memelihara ternak dan menanam tebu di Jamaika meskipun tidak secara besar-besaran. Ketika pesaing kolonial Spanyol, yakni Inggris, merebut pulau itu pada tahun 1655, hanya beberapa ribu orang Spanyol dan budaknya yang masih tinggal di pulau itu. Secara resmi Spanyol menyerahkan pulau itu kepada Inggris melalui Perjanjian Madrid pada tahun 1670.
Kelompok Maroon
Ketika para pemukim Spanyol tengah melancarkan perang gerilya melawan para penyusup Inggris, mereka mempersenjatai budak Afrika mereka dengan bedil dan memanfaatkan mereka sebagai sekutu. Budak yang telah dimerdekakan itu bergabung dengan budak yang sebelumnya telah melarikan diri.
Kemudian budak yang melarikan diri dari para pemukim lnggris pun ikut bergabung dengan mereka. Kelompok budak pelarian itu mendirikan permukiman mereka sendiri di tempat-tempat yang tak terjangkau di pegunungan. Mereka disebut kelompok Maroon, yakni pemendekan kata bahasa Spanyol cimarron yang berarti ”liar” atau ”sukar dikendalikan”. Tidak berapa lama kemudian pejuang gerilya yang andal itu turun dari bukit untuk menyerang berbagai perkebunan.
Berbagai upaya untuk menaklukkan kelompok Maroon mengalami kegagalan. Akhirnya, pada tahun 1738, Inggris menandatangani sebuah perjanjian dengan kelompok Maroon dan menghibahkan lahan serta berbagai hak kepada mereka, termasuk hak untuk menjatuhkan hukuman kepada kaumnya sendiri atas kejahatan yang dilakukan.
Sampai sekarang masih terdapat kira-kira 1.500 orang Maroon di Jamaika, yang kebanyakan di antaranya tinggal di Negeri Kokpit. Mereka tidak berbeda dengan penduduk Jamaika lainnya meskipun masih tetap mempertahankan beberapa di antara hak istimewa yang diberikan kepada mereka berdasarkan perjanjian tahun 1 738 itu. Pemimpinnya disebut kolonel.
Bajak Laut
Sementara itu, kira-kira pada saat meletusnya kemelut dengan orang Maroon, Jamaika menjadi sarang perompak, yaitu bajak laut yang menteror kawasan Laut Karibia pada abad ke-17. Bajak laut itu memusatkan kegiatannya di Port Royal, yang dalam waktu singkat menjadi pusat harta karun di Karibia.
Para saudagar datang membanjir dari Inggris untuk membeli harta karun hasil rampasan perompak dari berbagai koloni lain dengan harga yang rendah. Untuk sementara waktu, para pejabat Inggris membiarkan saja gerombolan perompak itu dan bahkan memberi angin kepada mereka.
Namun, pada tahun 1670-an pihak pemerintah mulai menekan pembajakan. Pada tahun 1692 suatu gempa bumi yang kuat dan disusul dengan banjir bandang menghantam Port Royal serta menghancurkan kota itu. Kejadian itulah yang akhirnya membuka jalan bagi dibangunnya sebuah pusat perniagaan baru, yaitu Kingston, di seberang pelabuhan tersebut.
Perbudakan dan Penghapusannya
Pada saat itu pula penanaman tebu sedang digalakkan di Jamaika. Orang Inggris menanamnya secara lebih besar-besaran dibandingkan dengan yang telah dilakukan orang Spanyol sebelumnya, dengan mendatangkan ribuan budak dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan mereka.
Menjelang tahun 1750 Jamaika merupakan koloni gula Inggris yang terkemuka, yang menampung lebih dari 300.000 tenaga kerja budak di perkebunan mereka. Penanaman tebu terus merupakan kegiatan yang sangat menguntungkan sampai awal abad ke-19, tatkala berbagai perkembangan di dalam dan di luar negeri mengakibatkan kemerosotannya. Salah satu hantaman pamungkasnya adalah penghapusan perbudakan, sebagian pada tahun 1834 dan secara keseluruhan pada tahun 1838.
Setelah emansipasi budak, banyak di antara budak itu yang tidak mau lagi bekerja sebagai buruh perkebunan, sekalipun diberi upah. Mereka memasuki daerah perbukitan untuk menggarap lahan pertanian mereka sendiri. Banyak di antara penduduk Jamaika yang miskin papa menjadi bulan-bulanan para penguasa.
Keresahan meledak dalam bentuk pemberontakan yang tak berumur panjang melawan pemerintah oleh penduduk kulit hitam di Teluk Morant di pesisir sebelah tenggara. Pemberontakan itu segera dapat dipadamkan, tetapi banyak di antara para tuan tanah dan golongan profesional, yang hampir semuanya berkulit putih atau berdarah campuran, menjadi ketakutan terhadap meningkatnya kekuasaan penduduk kulit hitam, terutama yang telah berpendidikan.
Sampai saat itu, Jamaika telah berpemerintahan sendiri secara luas melalui keanggotaan Dewan Majelis Jamaika yang terpilih. Kemudian kepemimpinan koloni itu bersedia mengimbalbelikan hak berpemerintahan sendiri itu dengan keamanan di bawah kekuasaan Inggris yang ketat.
Oleh karena itu, pada tahun 1866 Parlemen setuju untuk membubarkan diri dan mengajukan petisi kepada Ratu Victoria untuk memulihkan pengelolaan dan kekuasaan menyeluruh atas berbagai masalah yang dihadapi pulau itu dan ini berarti Jamaika menjadi koloni mahkota Inggris, sedangkan semua kekuasaan boleh dikatakan berada di tangan gubernur yang ditunjuk oleh Inggris.
Menyongsong Kemerdekaan
Sistem pemerintahan yang dimantapkan pada tahun 1866 itu tetap berlaku sampai tahun 1944 dengan beberapa perubahan. Menjelang saat itu terlihat banyak tanda semakin tumbuhnya kesadaran politik di kalangan golongan mayoritas kulit hitam di Jamaika dan sebuah undang-undang dasar baru diberlakukan untuk memberikan jaminan pemerintahan sendiri serta hak pilih penuh bagi golongan penduduk yang sudah dewasa.
Pada tahun 1959 sebuah undang-undang dasar lainnya memberikan hak pemerintahan ‘sendiri di dalam negeri sepenuhnya. Antara tahun 1958 sampai 1962 Jamaika bergabung dengan Federasi Hindia Barat, yang tidak berumur panjang itu, sebelum mengundurkan diri dan menjadi negara merdeka yang terpisah pada tanggal 6 Agustus 1962. Perdana menterinya yang pertama adalah Alexander Bustamente.
Pada tahun 1972, Michael Manley, pemimpin Partai Nasional Rakyat, memegang tampuk kekuasaan dan mulai melakukan berbagai perombakan di Jamaika berdasarkan garis sosialis. Namun, perekonomian morat-marit dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh kaum ekstremis mengakibatkan terhentinya arus wisatawan ke pulau itu.
Pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1980 menghantar Edward P.C. Seaga dari Partai Buruh Jamaika ke tampuk kekuasaan yang berhaluan pro-kapitalis. Seaga telah mencari pinjaman bagi Jamaika sehingga mampu mencegah kebangkrutan negara itu dan telah melancarkan gerakan untuk memulihkan kegiatan kepariwisataan dan penanaman modal asing.
Pemerintahan Jamaika
Resminya Jamaika merupakan sebuah kerajaan yang mengakui kedaulatan Ratu Inggris dan gubernur jenderal yang ditunjuknya. Pada hakekatnya, kekuasaan mereka itu hanya bersifat seremonial saja dan sebagian besar kekuasaan nyata berada di tangan majelis rendah di Parlemen, yakni Dewan Perwakilan Rakyat, yang para anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Perdana menteri adalah ketua partai yang memegang suara mayoritas di DPR dan Senat, atau majelis tinggi di Parlemen. Para anggota Senat ditunjuk oleh gubernur jenderal. Senat mempunyai kekuasaan untuk menolak mengesahkan rencana undang-undang yang diajukan oleh DPR, tetapi DPR masih dapat mengajukannya sekali lagi untuk disahkan.
Diulas oleh PHILIP SHERLOCK, Wakil Rektor, Universitas Hindia Barat
Editor: Sejarah Negara Com
Pembagian administratif Jamaika
County Surrey (bagian timur) | – Kingston (ibu kota negara) – Portland – Saint Andrew – Saint Thomas |
County Middlesex (bagian tengah) | – Clarendon – Manchester – Saint Ann – Saint Catherine – Saint Mary |
County Cornwall (bagian barat) | – Hanover – Saint Elizabeth – Saint James – Trelawny – Westmoreland |