Hukum adat bangsa Arab zaman pra-Islam – Orang-orang Arab adalah orang yang bangga, tetapi sensitif. Kebanggaan itu disebabkan bahwa bangsa Arab memiliki sastra yang terkenal, kejayaan sejarah Arab, dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa ibu yang terbaik di antara bahasa-bahasa lain di dunia. Beberapa sifat lain bangsa Arab pra-Islam adalah sebagai berikut :
- secara fisik, mereka lebih sempurna dibanding orang-orang Eropa dalam berbagai organ tubuh.
- kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi.
- faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh.
- memiliki struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku atau clan.
- tidak memiliki hukum yang reguler, kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan.
- posisi wanita tidak lebih baik dari binatang, wanita dianggap barang-barang dan hewan ternak yang tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami sebagai raja dan penguasa.
Baca juga: Sekilas peradaban zaman Nabi Muhammad SAW
Bidang Hukum adat
Dalam bidang hukum, Mushthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip Jaih Mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan, antara lain sebagai berikut :
Istibdha
Yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan pria yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri berjimak dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil.
Tujuan perkawinan samacam ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menjimakinya yang tidak dimiliki oleh sifat suaminya. Salah satu contohnya adalah seorang suami merelakan istrinya berjimak dengan raja hingga terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari bangsawan.
Poliandri
Yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang wanita. Setelah perempuan itu hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menjimaknya untuk berkumpul di rumahnya.
Setelah semuanya hadir, perempuan tersebut memberitahukan bahwa ia telah dikaruniai anak hasil hubungan dengan mereka, kemudian sang perempuan menunjuk salah satu dari semua laki-laki tersebut untuk menjadi bapak dari anak yang dilahirkannya. Sedangkan laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak.
Maqtha
Yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkannya.
Sementara ibu tirinya tidak memiliki kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri diharuskan menunggu sampai anak tersebut dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.
Badal
Yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk memuaskan jimak dan terhindar dari bosan.
Shighar
Yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar (Mushthafa Sa’id Al-Khinn, 1984: 18-9).
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim dalam buku Kasf Al-Ghamma menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya Islam, sebagai berikut:
Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh Islam, yakni seseorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontrak).
Pr*stitusi
Biasanya dilakukan kepada para pendatang atau tamu di tenda-tenda dengan cara mengibarkan bendera sebagai tanda memanggil. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih antara laki-laki yang mengenc*ninya sebagai bapak dari anak yang dikandungnya.
Mut’ah
Adalah praktik yang umum dilakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam meskipun pada awalnya, Nabi Muhammad SAW membiarkannya, tetapi selanjutnya melarangnya. Hanya kelompok syiah itsna ‘ashari yang mengizinkan perkawinan tersebut.
Anderson menambahkan pula bahwa di Arab pada zaman pra-Islam tampaknya telah ada berbagai macam corak perkawinan, boleh jadi mulai dari perkawinan patrilineal dan patrilokal sampai pada perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk juga apa yang dikenal sebagai perkawinan sementara waktu untuk bersenang-senang (mut’ah).
Dalam kasus yang lain, sebagaimana orang Badui di Arab sekarang, terorganisasikan berdasarkan kesukuan dan bersifat patriakhal. Di luar suku, tidak ada jaminan keamanan, selain hukum pertumpahan darah yang tidak tertulis.
Berdasarkan hukum ini, seseorang harus dibela oleh sanak keluarganya dari pihak laki-laki, bila dia dibunuh oleh salah seorang anggota suku lain, sedangkan sanak keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh, jika mereka tidak menghendaki pertumpahan darah lebih lanjut, harus menyediakan tebusan darah berupa sejumlah uang imbalan untuk diberikan kepada ahli waris si korban.
Oleh karena itu, wajarlah bila keturunan terdekat dari pihak laki-laki secara hukum berhak mewarisi harta milik seseorang pada saat dia meninggal, sedangkan para wanita, sanak keluarga jauh dan anak-anak yang belum dewasa tidak memiliki hak seperti itu.
Namun demikian, tampaknya pembuatan perjanjian wasiat pun biasa dilakukan setidak-tidaknya di Mekah.
Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa kondisi sosial Arab meskipun cenderung primitif, memiliki nilai peradaban yang tinggi. Bahkan meminjam istilah Goldziher, meskipun bangsa Arab cenderung barbarisme, bukan jahiliyah (bodoh, dungu, dan awam).