Hak asasi manusia sejak zaman Nabi Musa – Kesadaran akan hak asasi manusia bersumber pada hakikat manusia itu sendiri, yakni kesadaran atas potensi dan martabat pribadi manusia.Manusia menghayati martabat, cita-cita, dan tujuan hidupnya di dunia ini. Kesadaran itu makin meningkat apabila ia mendapat banyak tantangan, seperti penjajahan dan perbudakan serta ketidakadilan dan kelaliman (tirani).
Sejak Nabi Musa memerdekakan umat Yahudi dari perbudakan di Mesir, sesungguhnya manusia telah disadarkan olehnya agar mereka membela kemerdekaan, kebenaran, dan keadilan.
Hukum Hammurabi
Di Babylonia terkenal hukum Hammurabi (2000 tahun sebelum Masehi), yang menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin keadilan bagi semua warga negaranya. Hukum Hammurabi terkenal sebagai jaminan hak-hak asasi manusia.
Kemudian Solon (600 tahun sebelum Masehi) di Athena juga mengadakan pembaruan dengan menyusun undang-undang yang menjamin keadilan dan persamaan bagi setiap warga negara. Ia mengajarkan bahwa orang-orang yang diperbudak karena tidak mampu melunasi hutangnya harus dibebaskan.
Solon membentuk mahkamah keadilan yang disebut Heliaea. Ia juga membentuk lembaga perwakilan rakyat atau majelis rakyat yang disebut Ecclesia. Oleh karena iru, Solon dianggap sebagai Bapak ajaran demokrasi.
Pericles, juga tokoh negarawan Athena, berusaha menjamin keadilan bagi warga negaranya yang miskin. Ia menetapkan bahwa setiap warga negara yang berusia 18 tahun ke atas dapat ikut serta dalam permusyawaratan di dalam Ecclesia.
Flavius Anicius Justinianus, kaisra Romawi (527 sebelum Masehi), menciptakan peraturan hukum yang menjadi dasar dan pola sistem hukum modern di Barat. Pokok-pokok ketetapan hukum Justinianus mengenai jaminan atas keadilan dan hak asasi manusia.
Sebagaimana juga gagasan yang diusahakan beberapa negarawan itu, para filosof Yunani juga cukup maju. Konsepsi Socrates (470-399 sebelum Masehi) dan Plato (428-348 sebelum Masehi) adalah peletak dasar diakuinya hak asasi manusia. Mereka mengajarkan hak asasi manusia atau warga negara mengkritik pemerintahan yang tidak berdasarkan keadilan dan kebijaksanaan.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) mengajarkan bahwa pemerintahan harus berdasarkan kemauan dan cita-cita mayoritas warga negara.
Lahirnya Piagam Magna Charta
Kemudian, pada tanggal 15 Juni 1215, dari hasil musyawarah sekelompok para bangsawan Inggris lahirlah Piagam Magna Charta yang sangat terkenal di dunia. Tujuan piagam itu ialah membela keadilan bagi para bangsawan terhadap tindakan raja yang sewenang-wenang.
Magna Charta sebelumnya telah dibahas secara sekilas pada artikel sejarah 4 piagam hak asasi rakyat Inggris, yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Pertama: kekuasaan pemerintah (raja) harus dibatasi.
- Kedua : hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulan (kekuasaan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka yang dapat ditahan, atau dirampas harta kekayaannya, atau diperk*s@, atau diasingkan, atau dengan cara apapun diperk*s@ hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum.
Dengan isi piagam itu, Magna Charta menjadi lambang Piagam Hak-hak Asasi Manusia. Ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Enam abad sebelum kelahiran Magna Charta, Santo Agustinus mengajarkan bahwa “satu-satunya hukum yang adil ialah hukum Tuhan”. Kemudian Thomas Aquino (1215-1274) mengajarkan bahwa “hukum, undang-undang hanya dapat dibuat atas kehendak rakyat, atau oleh seorang raja yang mencerminkan dan mewakili kehendak rakyat itu”.
Ajaran demi ajaran muncul sebagai pembimbing bangsa-bangsa untuk menghargai martabat manusia. Akan tetapi, perk*s@-@n atas hak asasi manusia kadang-kadang datang dari bangsanya sendiri, raja dan kaum bangsawan, atau orang-orang kaya (tuan tanah, kaum modal, dan sebagainya).
Revolusi bangsa Amerika dengan deklarasi kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli 1776 juga merupakan piagam hak-hak asasi manusia karena deklarasi itu mengandung pernyataan bahwa sesungguhnya semua manusia diciptakan sama dan sederajat oleh Sang Maha Pencipta. Semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan menikmati kebahagiaan.
Demikian halnya dengan Revolusi Prancis pada tanggal 14 Juli 1789, yang menurunkan kekuasaan Raja Louis yang sewenang-wenang. Mereka, rakyat jelata, menyerbu penjara Bastille yang mengekang kemerdekaan manusia. Revolusi ini dipelopori oleh pemikir-pemikir besar Prancis, seperti j. Rousseau, Voltaire, dan Montesqueiu.
Tokoh Hak Asasi Manusia (HAM)
Mereka semua bersemboyan liberte, egalite, dan fraternite, yang artinya : kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Semboyan itu membangkitkan semangat manusia untuk memperjuangkan kemerdekaan dan menghormati asas persamaan derajat bangsa-bangsa serta semangat membina persahabatan antarbangsa.
Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln terkenal juga sebagai pendekar pembela hak-hak asasi manusia dan tokoh anti pembudakan. Abraham Lincoln mengajarkan kemerdekaan dan persamaan bagi setiap warga negara tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin dan agama.
Di tengah-tengah berkecamuknya Perang Dunia 2 pada tahun 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt menganjurkan di muka Badan Perwakilan Rakyat atau Kongres, agar dalam perang melawan negara fasisme: Jerman, Jepang, dan Italia didasarkan pada empat macam kebebasan atau hak asasi manusia guna mencapai perdamaian yang kekal.
Keempat macam kebebasan itu adalah sebagai berikut :
- Kebebasan berbicara dan melahirkan pikiran.
- Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
- Kebebasan dari rasa takut.
- Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan.
Keempat macam kebebasan seperti yang dianjurkan oleh Presiden Roosevelt ketika itu dirasakan telah mencakup tujuan peperangan melawan fasis dan hak-hak asasi yang terpenting. Memang benar bahwa hak-hak asasi manusia, meskipun masih dapat diperinci lagi pada hakikatnya berpangkal pada keempat macam kebebasan itu.
Lahirnya Piagam PBB
Setelah Perang Dunia II berakhir, mulai tahun 1946 disusunlah suatu rancangan Piagam Hak-hak Asasi Manusia oleh Organisasi Kerja sama untuk Sosial Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa di bawah pimpinan ketuanya Ny. Eleanor Roosevelt.
Pada tanggal 10 Desember 1948 piagam yang memuat tiga puluh pasal itu diterima sebagai Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Manusia itu belum merupakan perjanjian atau convention, tetapi semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara moral berkewajiban melaksanakan isi pernyataan itu.
Dalam alinea pertama Mukadimah Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Manusia itu dinyatakan sebagai berikut:
“Hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan Seru Sekalian Alam sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya. Oleh karena itu, setiap manusia berhak memperoleh kehidupan yang layak, kebebasan, keselamatan, dan kebahagiaan pribadinya”.
Sebenarnya dalam masyarakat Indonesia juga berkembang kesadaran akan hak asasi manusia, seperti dapat kita lihat dari perjuangan kemerdekaan oleh tokoh-tokoh pahlawan kita sepanjang zaman penjajahan.
Hal ini merupakan bukti kesadaran akan harga diri untuk membela hak asasi. Kesadaran ini telah berkembang sejak tahun 1908 yang berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1975. Proklamasi itu kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itulah, Pembukaan UUD 1945 merupakan inti sari ajaran hak asasi manusia di Indonesia