Gerakan Tiga A dan Putera – Pada awal pendudukannya, Jepang menyebarkan propaganda yang menarik. Sebagai contoh adalah mengizinkan bendera Merah Putih dikibarkan di samping bendera Jepang, melarang penggunaan bahasa Belanda, mengizinkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dan mengizinkan lagu Indonesia Raya.
Kebijakan itu tidak berlangsung lama. Jenderal Immamura mengubah semua kebijakan tersebut. Kegiatan politik dilarang dan semua organisasi yang ada dibubarkan.
Sebagai gantinya Jepang membentuk organisasi-organisasi baru. Tentunya organisasi-organisasi tersebut untuk kepentingan Jepang sendiri. Organisasi-organisasi bentukan Jepang adalah sebagai berikut:
Gerakan Tiga A
Hubungan kerja sama kaum nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang diwujudkan dalam bentuk lembaga tertentu, yaitu sebuah perhimpunan dengan nama Gerakan Tiga A, pada akhir bulan Maret 1942. Nama Gerakan Tiga A merupakan singkatan dari semboyan propaganda Jepang, yaitu:
- Nippon Cahaya Asia.
- Nippon Pelindung Asia
- Nippon Pemimpin Asia
Bagian dari propaganda Jepang sebagai sponsor gerakan itu adalah dengan mengangkat tokoh Parindra Jawa Barat, Mr. Samsuddin sebagai ketuanya.
Mr. Samsuddin mencoba mempropagandakan Gerakan Tiga A ke seluruh Jawa, dibantu oleh tokoh-tokoh lain dari Parindra, di antaranya: K. Sutan Pamuncak dan Moh. Saleh.
Oleh karena gerakan tersebut dibentuk secara resmi, di daerah-daerah dibentuk pula komite-komite, diantaranya bernama komite nasional, komite rakyat, dan nama-nama lain yang bersifdat lokal.
Komite-komite yang dibentuk secara lokal tersebut belum dapat berjalan dengan baik, karena situasi sesungguhnya belum mantap untuk membentuk organisasi. Secara bertahap gerakan yang dibentuk Jepang itu mulai bulan Mei 1942 diperkenalkan beberapa bulan saja.
Gerakan Tiga A hanya bertahan beberapa bulan saja. Pemerintah pendudukan Jepang menganggap bahwa gerakan ini tidak cukup efektif dalam usahanya mengerahkan bangsa Indonesia. Pada bulan Desember 1942, telah direncanakan untuk membentuk organisasi baru.
Organisasi baru tersebut dipimpin oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional yang lebih dikenal luas di kalangan rakyat Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai” (Soekarno, Moh. Hatta, Ki hajar Dewantoro, dan Mas Mansur)
Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Moh Hatta, dan Sutan Syahrir sudah diketahui secara jelas sikapnya yang antifasisme dan antimiliterisme, disamping mereka bersikap nonkooperatif terhadap Belanda.
Pemerintah Jepang ingin menggunakan tokoh-tokoh pergerakan nasional itu untuk menggerakkan massa yang diperlukan untuk perang dan membangkitkan perasaan Anti-Barat dan antibangsa kulit putih.
Dari ketiga tokoh tersebut Soekarno yang dianggap paling dikenal dan sangat diplomatis dalam setiap pidatonya sehingga sangat diharapkan dapat bekerja sama dengan Jepang.
Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
Putera merupakan organisasi yang terdiri dari kalangan nasionalis yang dirangkul Jepang untuk mempropagandakan politik Hakko Ichiu kepada rakyat Indonesia. Tokoh yang tergabung dalam Putera diantaranya: Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan Mas Mansur.
Karena diberi kesempatan berbicara di hadapan umum, mereka mempunyai peluang mengumpulkan massa yang lebih besar dari zaman penjajahan Belanda dahulu.
Dalam rapat raksasa dan siaran radio, pembicaraan mereka terarah pada upaya menyiapkan rakyat menyambut kemerdekaan. Mereka tidak mempropagandakan politik Jepang, tetapi melakukan kaderisasi nasional rakyat Indonesia.
Baca juga:
Lambat laun pemerintah pendudukan Jepang menyadari bahwa Putera lebih banyak bermanfaat bagi bangsa Indonesia daripada Jepang sendiri. Jepang menilai bahwa kegiatan Putera kurang menunjukkan dukungan terhadap kebijakan politik Jepang. Oleh karena itu, pada tahun 1944 Putera dibubarkan.