Sejarah Negara Com – Etika organisasi pemerintah menyangkut perilaku, pola, dan sikap antarindividu dalam institusi pemerintahan, maupun dengan pihak luar. Dalam hal ini, rakyat dan organisasi lain, baik pemerintah maupun nonpemerintah. Etika tersebut umumnya tertuang dalam peraturan perundangan dan diharapkan mampu mendorong aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk memberikan pelayananan kepada masyarakat.
Seperti kita ketahui, organisasi pemerintahan sebagai sebuah birokrasi yang besar cenderung bersifat kaku, rumit, lamban, dan korup. Alih-alih memberikan pelayanan dan kemudahan, justru di lapangan kita temukan aparatur negara bersikap sebagai majikan yang minta dilayani rakyat. Ini terjadi akibat minimnya pemahaman etika organisasi pemerintah.
Lamban dan Berbelit-Belit
Diakui atau tidak, birokrasi pemerintah di negara kita cenderung kurang responsif, lamban, dan berorientasi pada status quo, korup. Bukan hal aneh lagi jika urusan berkaitan dengan birokrat selalu berbelit-belit, yang berbuntut pada kemalasan masyarakat untuk berurusan dengan mereka. Bahkan, ada stigma yang mengatakan, “Kalau suatu urusan bisa dibuat sulit, untuk apa dipermudah?”
Gejolak reformasi menuntut penataan total dalam membangun budaya organisasi pemerintah sehingga terbentuk jaringan birokrasi yang memiliki etika, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak bisa tidak, standar etika organisasi pemerintah harus dinaikkan kastanya, termasuk perlu menerapkan transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi.
Baca juga: 5W+1H untuk Etika Komunikasi
Pegawai Negeri Sipil
Elemen utama organisasi pemerintah adalah pegawai negeri sipil (PNS), sebagai unsur aparatur negara yang bertugas memberikan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat. Aturan hukum yang memuat kode etik PNS adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.
Peraturan Pemerintah itu memuat nilai-nilai etika yang selayaknya menjadi acuan perilaku PNS dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Nilai-nilai yang mendasari kode etik PNS adalah sebagai berikut:
- Takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
- Setia pada Pancasila dan UUD 1945.
- Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
- Taat kepada hukum dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
- Menghormati hak asasi manusia.
- Tidak diskriminatif.
- Profesional, netral, dan bermoral.
- Semangat jiwa korps PNS.
Dalam melaksanakan tugas kedinasan, setiap PNS wajib berperilaku mengacu kepada nilai-nilai tersebut. Di samping itu, harus berpedoman pada etika bernegara dan bermasyarakat. Etika bernegara menuntut seorang PNS untuk taat nilai, mengangkat harkat dan martabat bangsa, menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu, seorang PNS dituntut memiliki akuntabilitas dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bekerja secara disiplin, tanggap, terbuka, jujur, akurat, dan tepat waktu. Dengan kata lain, mampu mendayagunakan sumber daya negara secara efisien dan efektif.
Tidak bisa tidak, etika organisasi pemerintah harus mampu membangun etos kerja untuk meningkatkan kinerja organisasi dan membangun kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam rangka mencapai tujuan. Oleh karena itu, setiap PNS hendaknya memiliki kompetensi, patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja, dan mampu mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif, berorientasi pada upaya peningkatan kualitas kerja.
Baca juga: Definisi Etika Dalam Komunikasi Politik
Etika Jabatan
Beberapa peraturan perundangan yang mendasari penyusunan standar etika organisasi pemerintahan, di antaranya sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 5 yang menetapkan kewajiban setiap penyelenggara, di antaranya untuk mengucapkan sumpah sebelum memangku jabatan; bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; melaporkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan; bertanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela.
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 4 yang menetapkan hak setiap penyelenggara, di antaranya untuk menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai perundang-undangan yang berlaku; menggunakan hak jawab atas teguran, tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik masyarakat; menyampaikan pendapat sesuai wewenangnya.
Baca juga: Perlunya Menegakkan Etika Kesehatan
Pengawasan dan Kontrol
Agar etika organisasi pemerintah dapat diterapkan dengan benar, selayaknya ada proses pengawasan dan evaluasi. Dalam hal ini, fungsi kontrol hendaknya dilakukan bukan saja oleh lembaga pemerintah, melainkan melibatkan masyarakat luas. Adapun lembaga pengawasan fungsional berperan mengawasi jalannya fungsi-fungsi pemerintahan secara komprehensif.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 menyoroti mekanisme sistem akuntabilitas instansi pemerintah, yang berorientasi kepada hasil dan kemanfaatan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat.
Sementara itu, fungsi kontrol dari masyarakat teraplikasi dalam lembaga-lembaga nonpemerintah, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesian Corruption Watch (ICW), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Indonesian Parliamentary Watch, dan KONTRAS