Ethiopia, yang dahulu dikenal sebagai Abesinia adalah sebuah negeri kuno di Afrika sebelah timur yang sejarahnya telah lama terselubung misteri. Di berbagai peta kuno Yunani dan Romawi, seluruh Afrika di sebelah selatan Mesir dan Gurun Sahara ditandai dengan kata ”Ethiopia”.
Akan tetapi, ternyata Ethiopia merupakan nama sebuah negeri yang semakin berjaya yang terletak di dataran tinggi Afrika Timur, yakni tempat bersumbernya Sungai Nil Biru.
Geografi Ethiopia
Ethiopia terletak di tanduk Afrika Timur, diapit oleh Sudan di sebelah barat dan Eritrea di sebelah timurlaut. Di sebelah timur dan tenggara terdapat Djibouti (bekas Wilayah Prancis Afars dan lssas) dan Somalia. Di sebelah selatannya terletak Kenya dan sepenggal Somalia.
Jantung Ethiopia adalah dataran tinggi celah Afrika Timur, atau tanah tinggi. Daerah ini merupakan salah satu daerah paling tinggi di Afrika sehingga Ethiopia kadang-kadang disebut Tibetnya Afrika. Dataran tinggi itu pada umumnya berketinggian antara 900 sampai 3.000 m, dan pegunungan di daerah itu menjulang sampai setinggi 4.300 m.
Lembah Celah Besar Afrika membelah dataran tinggi itu ke arah baratdaya. Kedua bagian lembah tersebut, yakni yang terletak pada kedua sisi Lembah Celah itu dicabik-cabik oleh berbagai lembah curam yang kecil yang berdinding lereng pegunungan dan tebing.
Akan tetapi, bahkan di lahan yang rata sekalipun, terlihat juga adanya ambas yang ganjil bentuknya. Puncak-puncak yang bagian atasnya rata itu selama berabad-abad telah menjadi tempat berteduh bagi berbagai suku bangsa yang ingin meninggalkan dataran tinggi di sekitarnya.
Para raja telah melarikan diri ke ambas sewaktu terkepung dan musuhnya pun dibuang ke puncak tersebut. Ambas juga dimanfaatkan untuk biara.
Kunjungi Peta Ethiopia atau di google map
Di sekitar dataran tinggi itu terdapat empat wilayah tanah rendah yang panas. Di sebelah utara, sambungan dari Eritrea, Lembah Celah melebar membentuk gurun pasir dataran Danakil. Dataran Danakil merupakan salah satu titik terpanas di muka bumi dan beberapa bagiannya lebih rendah daripada paras laut.
Di sebelah tenggara tanah tinggi itu terdapat padang rumput setengah gersang Ogaden, yang dihuni oleh suku bangsa Somalia yang nomadik. Di sebelah barat yang berbatasan dengan Sudan, terdapat suatu jalur sempit tanah rendah yang dihuni oleh suku bangsa yang berkerabat dengan penduduk Sudan.
Di antara sekian banyak sungai di Ethiopia, yang paling terkenal adalah Sungai Nil Biru (yang di disebut Sungai Abbai). Sungai ini bermata air di tanah tinggi di propinsi Gojjam di sebelah baratlaut dan mengalir masuk ke Danau Tana.
Setelah menembus sudut sebelah tenggara danau itu, sungai tersebut meluncur melalui Air Terjun raksasa Nil Biru (Tisisat) dan terus berkelok-kelok mengalir ke arah barat menuju Sudan. Sungai ini bergabung dengan Sungai Nil Putih di Khartum dan bersama-sama mengalir ke utara sebagai Sungai Nil, yang merupakan sungai terbesar di Afrika.
Iklim
Ethiopia terletak di dekat garis khatulistiwa. Di tanah rendah suhunya seringkali mencapai 38°C atau lebih. Akan tetapi, dataran tinggi yang mencakup kira-kira dua pertiga wilayah negeri itu, beriklim sedang dengan sinar matahari yang cerah serta udara yang sejuk dan menyegarkan.
Periode paling hangat dan paling cerah berlangsung antara bulan Oktober sampai Januari. Musim hujan terjadi dari pertengahan Juni sampai pertengahan September. Hujan musim panas di Ethiopia sangat tidak menentu.
Pada tahun-tahun tertentu hujan sama sekali tidak turun atau ,turun demikian sedikitnya sehingga tidak cukup untuk mendukung tanaman budidaya dan padang rumput. Kegagalan tersebut acapkali mengakibatkan merajalelanya kelaparan dan kesengsaraan serta memaksa para pengungsi yang kelaparan itu pindah dalam upaya mereka mencari pangan dan air.
Kadang kala, seperti pada awal dekade 1970-an dan berulang pada dekade 1980-an, musim paceklik berlangsung selama bertahun-tahun. Pada waktu hal itu terjadi, ribuan penduduk yang kelaparan membanjiri kamp-kamp bantuan pangan dan banyak yang mati kelaparan karena tidak berhasil mencapai tempat tersebut. Selama pertengahan pertama tahun 1980 diperkirakan lebih dari 1.000.000 penduduk Ethiopia tewas.
Kota Besar
Di dataran tinggi yang beriklim menyegarkan itu telah berkembang pesat kota besar utama di Ethiopia. Di daerah ini, ibu kota kuno Aksum masih tetap berdiri. Di sini pula, di sebelah selatan Aksum (yang sekarang hanya berupa sebuah desa), terletak ibu kotanya yang modern Addis Ababa (”bunga baru”) yang didirikan pada tahun 1887.
Kota yang pertumbuhan penduduknya pesat ini mempunyai sebuah universitas, sejumlah rumah sakit, hotel modern, lembaga perbankan yang utama, serta sejumlah besar gereja Kristen.
Di sini terdapat pula bekas istana kerajaan dan kebunnya, bulevar-bulevar yang ramai, berbagai kementerian, kedutaan asing dan Balai Afrika dan juga Organisasi Persatuan Afrika (OAU) serta menjadi arena pertemuan tahunannya. Terdapat pula sebuah perpustakaan nasional di Addis Ababa dan museum arkeologi yang cukup menarik. Gedung pencakar
langit berjajar di sepanjang jalan utama, sehingga ”Addis” (Bunga) itu bercitra modern, suatu citra yang didambakan oleh para mahasiswa, pegawai negeri, serta kalangan profesional, yang berharap dapat menyebarluaskan pendidikan dan pola hidup modern keluar dari Addis Ababa ke seluruh penjuru negeri.
Di berbagai bagian lain tanah tinggi itu, kota Gondar, Makale, Dessye, Diredawa, Jimma, dan kota Harar (yang dikelilingi tembok dan sejak dahulu merupakan pusat umat Islam) telah pula tumbuh.
Penduduk Ethiopia
Ethiopia termasuk satu di antara lima negara yang berpenduduk paling “padat di Afrika. Akan tetapi, para ahli kependudukan hanya dapat memperkirakan jumlah penduduk yang sebenarnya karena di negara ini belum pernah dilakukan sensus yang berskala nasional. Kadang-kadang perkiraan mereka dapat berkisar sampai 5.000.000 jiwa.
Akan tetapi, semua pihak sepakat bahwa penduduknya tumbuh dengan pesat, seperti halnya di negara-negara Afrika lain.
Hal tersebut mendorong penduduk Ethiopia yang kebanyakan tinggal di daerah pedesaan dan terlihat dalam kegiatan pertanian membabat hutan dan menanami lahan yang rawan paceklik dalam upaya memperoleh lahan pertanian dan pangan yang lebih banyak. Banyak pula yang pindah ke kota, yang dewasa ini baru dihuni oleh 14% dari seluruh penduduknya, untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Penduduk Ethiopia merupakan campuran antara lebih dari 70 kelompok etnis. Mereka dipisahkan satu sama lain oleh permusuhan tradisional, bahasa, agama, dan cara hidup. Memerintah penduduk yang demikian bhinekanya itu bukan tugas yang mudah dan diperkirakan merupakan penghambat upaya modernisasi.
Suku Bangsa
Suku bangsa Amhara dan Tigrai yang hidup di tanah tinggi tengah dahulu secara tradisional mendominasi Ethiopia. Kedua kelompok tersebut bersama-sama mencakup kira-kira 45% dari seluruh penduduk. Kebanyakan di antara mereka hidup sebagai petani, tetapi hanya memiliki perkakas yang masih primitif, seperti yang digunakan di Eropa pada abad pertengahan, untuk menggarap lahan mereka. Mereka beragama Kristen.
Di zaman dahulu kala, suku bangsa Amhara dan Tigrai menggunakan bahasa yang sama, yakni bahasa Ge’ez. Lama kelamaan, suku bangsa itu terpecah menjadi dua kelompok dan bahasanya bercabang ke tiga arah yang berlainan.
Bahasa aslinya, yakni bahasa Geez, masih dilestarikan sampai sekarang sebagai bahasa kebaktian dan doa di kalangan Gereja Ethiopia. Di daerah permukiman Tigrai, bahasa Geez berkembang menjadi bahasa Tigre dan Tigrinya, sedangkan di kalangan suku Amhara menjadi bahasa Amhara-yang sekarang menjadi bahasa resmi negara.
Suku bangsa Falasha yang juga disebut ”Kaum Yahudi Hitam”, merupakan kelompok suku Hamit yang lain daripada yang lain. Agama mereka mencerminkan bentuk kuno Yudaisme yang telah mereka anut sejak lebih dari 2.000 tahun yang silam.
Jumlah mereka relatif kecil (kira-kira 25.000) dan tinggal di sebelah utara Danau Tana. Orang Falasha adalah pengrajin tradisional yang selama zaman imperialisme pada abad ke-15 tidak diperkenankan memiliki lahan pertanian sebab mereka menolak untuk menganut agama Kristen. Mereka juga dimusuhi setelah revolusi Ethiopia pada tahun 1974. Banyak di antara mereka yang berhasil pindah dan menempuh hidup baru di Israel pada awal tahun 1980-an
Suku Oromo adalah satu-satunya kelompok etnik yang terbesar di Ethiopia. Suku bangsa Oromo yang oleh orang Amhara disebut orang Calla ini mencakup sekitar 40% dari seluruh penduduk dan sebagian besar hidup di daerah selatan. Suku Oromo yang mempunyai bahasanya sendiri itu memasuki dataran tinggi dari selatan pada abad ke-15 dan ke-16.
Kedatangan mereka melalui perpindahan bersenjata dan bukannya melalui penaklukan karena mereka menggunakan adat istiadat kelompok yang mereka kalahkan dan tidak menonjolkan adat istiadat mereka sendiri.
Orang Oromo yang tinggal di Shoa di propinsi Addis Ababa, misalnya, telah mengikat perkawinan dengan orang Amhara, menganut agama Kristen serta menerapkan adat istiadat Amhara. Orang Oromo lainnya pada umumnya menganut kepercayaan animisme atau Islam.
Yang sangat berlainan adalah suku bangsa Somali dan Danakil atau Afars. Mereka tinggal di daerah gersang di sebelah timur dan tenggara dan menganut tradisi peternak nomadik. Kedua suku bangsa itu mirip satu sama lain, sama-sama menganut agama Islam, tetapi merupakan musuh bebuyutan.
Suku bangsa Somali, yang masih berkerabat dengan suku bangsa Somali yang hidup di negeri tetangganya Somaliland, lebih banyak jumlahnya dan kebanyakan bermukim di propinsi Ogaden.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka di dataran Danakil, suku Danakil selalu siap siaga untuk mempertahankan setiap tetes air yang ada sampai titik darah yang penghabisan, baik sewaktu hak mereka diusik oleh orang luar ataupun oleh sesama suku Danakil yang menjadi pesaingnya.
Beberapa di antara suku Danakil berkecimpung dalam industri pemecahan garam di depresi Danakil dan sejak dahulu telah berdagang garam dengan orang Amhara dan suku bangsa lainnya di Afrika Timur.
Penduduk Perbatasan
Suatu campuran berbagai kelompok etnik yang lebih kecil hidup di sepanjang perbatasan dengan Sudan. Banyak di antara mereka adalah para petani yang menetap. Suku Abigar dan Annuak di daerah baratdaya adalah penggembala ternak.
Di masa silam para penghuni daerah perbatasan ini merupakan sasaran penduduk Ethiopia dari tanah tinggi yang mencari budak.
Cara Hidup
Kehidupan keluarga di Ethiopia sangat beragam di antara satu kelompok etnik dengan kelompok lainnya. Pada masa prarevolusi (sebelum tahun 1974), berbagai tradisi Amhara, yang terkait dengan Kaisar dan kelas penguasa, seringkali ditonjolkan pada kelompok masyarakat lainnya.
Setelah revolusi tahun 1974, pemerintah melancarkan suatu program untuk mengakhiri kekuasaan lama yang dipegang oleh kaum bangsawan. Pemerintah juga meniadakan agama resmi negara yaitu Kristen Ortodoks Ethiopia yang selalu dihubungkan dengan kelompok Amhara yang berpengaruh.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah baru mengobarkan kebanggaan menjadi bangsa Ethiopia dari keturunan apa pun dan bukannya kebanggaan kesukuan sebagai orang Amhara, Oromo, Somali, Afar, ataupun kelompok keturunan lainnya.
Makanan
Makanan pokok penduduk Ethiopia adalah injera, yakni lempengan roti yang besar yang terbuat dari teff, sejenis gandum. Injera mencakup sebagian permukaan meja hidangan. Wat, yakni semacam kuah berbumbu yang terkadang dicampur dengan daging, dituangkan langsung ke atas injera dengan sendok sayur, dan kemudian baru injeranya disobek dan dimakan bersama-sama dengan wat.
Bir khas Ethiopia yang dibuat dari jewawut dan disebut ta/Ia biasanya merupakan minuman pengantar makan. Untuk acara istimewa, dihidangkan minuman yang lebih keras, disebut tej, yang terbuat dari madu yang diragi.
Agama
Sekarang ini, kurang lebih 45% penduduk, yang sebagian besar adalah orang Amhara dan Tigrai, beragama Kristen. Gereja mereka, yakni Gereja Kristen Ortodoks Ethiopia, telah dikembangkan sejak abad ke-4 Masehi.
Sampai tahun 1950 Gereja tersebut sangat erat kaitannya dengan Gereja Mesir (Koptik) dan sama-sama menganut doktrin bahwa sifat ketuhanan dan kemanusiaan Kristus adalah satu. Selain itu, Gereja tersebut sangat berlainan dengan berbagai gereja Kristen lainnya yang berkiblat ke Roma atau Konstantinopel karena banyak kebiasaan Yahudi kuno yang masih tetap dilestarikan.
Tata cara tersebut antara lain mencakup sirkumsisi (khitan), perayaan Sabbat di hari Sabtu, dan pemilahan antara makanan yang halal dan haram. Ulama awam yang disebut dabtaras, yang seperti halnya para pemimpin liturgi Yahudi, menyanyikan liturginya dan melakukan tarian ritual yang menandai hari besar yang penting.
Ulama Gereja Ethiopia sangat banyak jumlahnya (diperkirakan sebanyak 20% dari semua pria di negeri ini), tidak berpendidikan tinggi, dan amat konservatif. Akan tetapi, pemerintahan revolusioner yang berkuasa sejak tahun 1974 menyita semua lahan gereja untuk dibagi-bagikan kepada berbagai kelompok masyarakat dan telah mendorong para ulama agar mencari lapangan pekerjaan lain.
Islam dianut oleh 40% dari seluruh penduduk Ethiopia. Para penganutnya yang disebut kaum Muslimin, membina hubungan yang akrab dengan berbagai negara Islam dan negara Arab tetangganya di kawasan Laut Merah dan Teluk Persia.
Sejak masih di bawah dominasi orang Amhara, golongan Muslim Ethiopia telah berupaya secara aktif untuk memperoleh hak menentukan nasib sendiri yang lebih besar di bidang politik. Di antara kelompok-kelompok ini terdapat pembangkang dari Somalia.
Para penganut kepercayaan animisme setempat yang terkucil jauh lebih sedikit lagi jumlahnya, yakni mencakup 10% dari seluruh penduduk Ethiopia. Kelompok-kelompok tersebut sering didatangi oleh para anggota misi Katolik dan Protestan yang sangat berhasrat untuk mengubah mereka menjadi penganut Kristen.
Kesehatan
Penyakit merupakan salah satu problema kemanusiaan yang besar di Ethiopia. Penyakit cacar, trakhoma, disentri, bilharziasis, tuberkulosa, tifus, malaria, lepra, dan sipilis merupakan penyakit yang umum.
Sekiranya penyakit tersebut tidak diberantas, mereka akan terus-menerus menekan harapan hidup rata-rata penduduk sampai ke tingkat 35 sampai 40 tahun. Tidak adanya sanitasi dasar mengakibatkan angka kematian setinggi 50% sampai 60% di kalangan bayi yang berumur di bawah 21/2 tahun.
Pemerintah Ethiopia telah berpaling kepada WHO, UNICEF, Swedia, Amerika Serikat, dan Jerman Barat untuk memperoleh bantuan guna meningkatkan kondisi kesehatan. Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat dan Pusat Pelatihan Kesehatan Masyarakat telah didirikan di Condar.
Sekolah kedokteran pun telah didirikan di bawah naungan Universitas Nasional di Addis Ababa. Di daerah pedesaan, pusat-pusat kesehatan telah dibentuk dan berbagai proyek pemandu air bersih dan sanitasi juga sedang dilaksanakan.
Pendidikan
Kurang dari 10% penduduk Ethiopia telah melek huruf. Sejak lama pendidikan di sekolah hanya terjangkau oleh golongan berada dan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Amhara. Pengabaian terhadap pendidikan yang telah berlangsung sejak dahulu ini telah mengakibatkan Ethiopia modern sangat kekurangan tenaga insinyur, guru, teknisi, dan personel terlatih lainnya yang dibutuhkan guna memodernisasikan negeri ini.
Beberapa kemajuan telah dicapai setelah revolusi tahun 1974, tetapi masih sangat kekurangan gedung sekolah. Hanya sekitar 50% anak usia sekolah dasar yang telah bersekolah dan kurang dari 12% yang melanjutkan ke sekolah menengah.
Mereka yang beruntung mendapat tempat di sekolah sekarang harus menerima pelajaran yang diberikan sekurang-kurangnya dalam 9 bahasa daerah dan ternyata pendidikan di sekolah sangat menitikberatkan pertanian, kerajinan, dan berbagai mata pelajaran praktik lainnya.
Ekonomi
Ethiopia adalah salah satu di antara negara termiskin di dunia. Sebagian besar penduduknya memperoleh pendapatan minimal sebagai petani atau penggembala nomadik. Hampir setiap warga negaranya hidup dalam kemiskinpapaan dan tidak mampu bertahan terhadap paceklik dan berbagai musibah lainnya tanpa bantuan dari luar.
Pemerintah revolusioner yang merebut kekuasaan tahun 1974 mengambinghitamkan perencanaan ekonomi yang kurang mantap dan kekeliruan penempatan urutan prioritas pada masa prarevolusi sebagai penyebab merajalelanya kemiskinan tersebut.
Mereka berupaya memperbaiki kondisi ekonomi dengan jalan menasionalisasi semua lahan pertanian dan menghimpun para petani ke dalam kelompok produksi komune seperti di Rusia. Banyak warga negara Ethiopia yang menentang sistem baru itu.
Pertanian
Padi-padian merupakan tanaman pangan utama di Ethiopia. Teff, yakni padi-padian yang digunakan untuk membuat makanan pokok penduduknya, merupakan padi-padian utama, di samping gandum, jewawut, jagung, cantel, dan bulgur.
Berbagai kacang-kacangan, termasuk kacang polong, buncis, dan kacang hijau, adalah tanaman utama lain dan sumber protein utama dalam menu makanan penduduk Ethiopia. Berbagai jenis minyak yang berasal dari biji-bijian dan kacang tanah digunakan untuk memasak.
Ensete, atau pisang palsu, merupakan makanan pokok yang bergizi yang ditanam di tanah tinggi bagian selatan, di samping talas, ubi, dan ketela.
Kopi merupakan tanaman perdagangan utama, yang sejak dahulu mencakup sampai sebanyak 75% dari seluruh pendapatan ekspor. Perdu kopi tumbuh liar di beberapa bagian negeri ini dan juga dimuliakan untuk memperbanyak hasilnya.
Tanaman keras lain yang penting adalah tebu dan kapas, yang membantu mendukung industri gula dan tekstil yang masih dalam tahap awal di negeri ini. Sapi, domba, dan kambing yang terutama dipelihara oleh para penggembala nomadik, mendukung kegiatan ekspor ternak dan kulit mentah.
Pemanufakturan modern menyumbangkan sedikit kekayaan kepada perekonomian Ethiopia. Kebanyakan produk manufaktur adalah untuk konsumsi dalam negeri dan hanya sedikit sekali yang diekspor.
Produk manufaktur yang utama adalah gula dan bahan pangan lainnya, rokok, tekstil katun, sepatu, korek api, sejumlah produk gelas, logam, dan minyak bumi. Beberapa instalasi listrik tenaga air-yakni di Sungai Awash dan Sungai Nil Biru di daerah tanah tinggi-hanya menyediakan sejumlah kecil tenaga listrik karena sebagian besar sumber air negara yang melimpah masih belum dikembangkan. Sebagian besar sumber kehutanan dan perikanan juga belum dimanfaatkan.
Pertambangan
Garam adalah mineral yang diproduksi da|am jumlah besar di Ethiopia. Mineral |ain yang terdapat dalam jumlah kecil adalah emas dan platina, sedangkan sumber bijih besi, tembaga, dan kalium karbonat masih belum dikembangkan.
Satwa Liar Ethiopia
Singa, yang menjadi lambang negara Ethiopia, kini sudah langka. Singa yang masih tersisa berkeliaran di bagian tenggara kawasan dataran tinggi. Populasi macan tutul juga terancam kepunahan. Menembak macan tutul merupakan tindak pelanggaran hukum, tetapi banyak juga yang ditembak untuk diambil kulitnya yang sangat tinggi harganya itu.
Di dekat Awash, tidak jauh dari Addis Ababa, para pengunjung dapat menyaksikan sejumlah kecil kawanan rusa gazele, zebra, oryx (hewan mirip kijang), kudu besar, kudu kecil, dan rusa gazela jenis kecil yang disebut dikdik. Di taman nasional kedua, yakni di Omo di sebelah baratdaya, terdapat lebih banyak kawanan hewan dataran rendah.
Di daerah baratdaya yang beriklim tropis terdapat gajah, badak, dan kuda nil, sedangkan Sungai Baro yang terletak di propinsi llubabor sarat dengan buaya. Di kawasan yang lembap ini terdapat banyak sekali burung tropis, sedangkan lebih jauh ke utara lagi di beberapa danau di Lembah Celah terdapat ribuan burung flamingo merah jambu.
Di malam hari anjing hutan berburu bangkai di jalan kota di seluruh Ethiopia. Santainya hewan tersebut berkeliaran di dalam kota memberikan gambaran betapa masih dekatnya kehidupan kota di Ethiopia dengan hutan belantara. Anjing hutan bahkan masih berkeliaran di Addis Ababa sebelum dilaksanakannya pemasangan lampu neon tahun 1960-an.
Sejarah Ethiopia
Bangsa Semit pindah ke Ethiopia dari Arabia sebelah baratdaya kirakira pada tahun 1000 sebelum Masehi. Mereka mendirikan kerajaan Aksum di daerah tanah tinggi setelah menaklukkan bangsa Hamit yang sebelumnya telah tinggal di sana (bangsa Hamit boleh jadi mendesak penduduk Negro di zaman dahulu).
Pada abad ke-4 Masehi, agama Kristen dibawa masuk ke Ethiopia oleh dua pemuda Kristen Suriah dan tidak lama kemudian terjalin hubungan yang erat dengan Gereja Kristen Mesir. Akan tetapi, setelah kebangkitan Islam pada abad ke-7, bangsa Arab menaklukkan seluruh wilayah Afrika Utara sehingga terkucillah Kerajaan Kristen Aksum itu.
Berbagai kerajaan jatuh dan bangun selama 1.000 tahun keterkucilan Ethiopia. Salah satu di antaranya, yakni dinasti Zagwe (1137-1270), meninggalkan warisan yang menakjubkan berupa 11 gereja yang ditatah dari batu di Lalibala, yang dibangun sebagai ”Yerusalem baru”.
Kesebelas gereja peninggalan kerajaan Aksum kuno serta puri Raja Fasiladas di Gondar (yang dibangun pada abad ke-17) merupakan monumen sejarah Ethiopia yang diwarnai kemelut yang masih berdiri sampai sekarang.
Zaman Modern Ethiopia
Sejarah modern Ethiopia diawali oleh Menelik II yang menjadi kaisar pada tahun 1889. Raja tersebut adalah keturunan Menelik I, yang menurut dongeng adalah anak Nabi Sulaiman dan Ratu Sheba.
Menelik II berhasil mengakhiri persaingan yang telah berabad-abad antara para penguasa daerah dan memberikan pemerintahan pusat yang kuat kepada Ethiopia. Dia berhasil mematahkan serbuan tentara Italia di Aduwa tahun 1896, mengizinkan Prancis memulai pembangunan jalur jalan kereta api antara Addis Ababa dan bandar Djibouti, dan meletakkan dasar bagi suatu sistem ketentaraan modern.
Menelik meninggal tahun 1913 dan pada 1916 putrinya Zauditu diangkat menjadi maharani. Sepupunya Ras Tafari Makonnen diangkat menjadi patih. Ketika Zauditu meninggal tahun 1930, Ras Tafari mengklaim singgasana dan bergelar Kaisar Haile Selassie l.
Haile Selassie bertekad memberlakukan undang-undang anti perbudakan. Berkat pengaruhnya pula maka Ethiopia membuka pintunya lebar-lebar bagi pengaruh Barat dan mengambil langkah pertama menuju ke demokrasi dengan disahkannya Undang-Undang Dasar tahun 1931.
Penyerbuan Italia tahun 1935-1936 memaksa Haile Selassie untuk meninggalkan negaranya. Pada 1941 Inggris berhasil mengusir Italia keluar dari Ethiopia dan mendudukkannya kembali ke singgasana.
Tahun 1952 wilayah pesisir Eritrea, yang telah berada di bawah kekuasaan Italia secara terpisah sejak tahun 1889, digabungkan ke dalam sebuah federasi dengan Ethiopia dan diduduki tahun 1962, meskipun mendapat tentangan. Undang-undang dasar yang telah diubah diberlakukan tahun 1955 tetapi sebagaimana di masa silam, kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar.
Peristiwa Penting Ethiopia
Tahun-tahun berikutnya, Haile Selassie dikecam karena lambannya pelaksanaan pembagian lahan dan demokrasi politik penuh. Bahaya kelaparan semakin memperbesar keresahan yang sudah meluas dan pada 1974 angkatan darat menggulingkan Kaisar dan mengambilalih kekuasaan negara. Parlemen dibubarkan dan kerajaan dihapuskan.
Pemerintahan baru dijalankan melalui Dewan Pemerintahan Militer Sementara yang juga dikenal sebagai Dirgue. Nama resmi negara menjadi Ethiopia Sosialis dan pemerintah mengambil-alih sejumlah besar perusahaan.
Pemerintahan revolusioner, yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Mengistu Haile Mariam, menjalin hubungan yang akrab dengan Uni Soviet tahun 1976. Banyak golongan sipil berkeberatan atas hubungan tersebut, tetapi penentangan mereka ditindas oleh pihak militer pada akhir tahun 1970an.
Pertikaian lain meletus di Eritrea sewaktu golongan yang ingin memisahkan diri mencoba mendirikan negara Eritrea yang terpisah, dan di Ogaden, ketika suku Somalia berupaya menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara tetangganya Somaliland.
Pertikaian tersebut, ditambah lagi dengan timbulnya musim kering terburuk dalam sejarah pada awal tahun 1980-an, telah mengakibatkan merajalelanya kelaparan dan berbondong-bondongnya ribuan pengungsi menuju ke kam-kam bantuan pangan atau ke berbagai negara tetangganya.
Keadaan para korban kelaparan yang memilukan itu telah mengundang perhatian kalangan internasional dan mendorong dipercepatnya usaha pengumpulan dana besar-besaran untuk meringankan kesengsaraan mereka.
Pada tahun 1989, Front Pembebasan Rakyat Tigra, oposisi terkuat di Utara, berkoalisi dengan kelompok pemberontak anti-Mengistu, Front Demokratis Revolusioner Rakyat Ethiopia EPRDF. Di bagian utara kelompok pemberontak mengalami sejumlah kemenangan.
Ketika bantuan Soviet berakhir pada 1990 karena runtuhnya Uni Soviet, dukungan asing dan pasokan senjata bagi pemerintah tidak ada lagi. Pasukan pemberontak menduduki Addis Ababa 28 Mei 1991.
Koalisi EPRDF yang menang ini membentuk pemerintahan peralihan yang dikepalai oleh Meles Zenawi yang terpilih sebagai presiden dalam pemilihan perwakilan sementara pada Juli 1991. Eritrea berpemerintahan sendiri, terpisah dari Ethiopia.
Pada Juni 1992, Ethiopia mengadakan pemilihan untuk 1.147 kursi majelis regional. EPRDF memenangkan 97% jumlah kursi itu. Timbullah oposisi dari Front Pembebasan Oromo yang mengangkat senjata melawan pemerintah pusat. Referendum 1993 memisahkan Eritrea dari negara ini walaupun ada penentangan, terutama dari pihak Amhara.
Pada Juni 1994, Ethiopia mengadakan pemilihan umum untuk majelis konstitusi guna menyusun undang-undang dasar baru. Hampir seluruh kursi direbut oleh EPRDF di daerah-daerah pemilihan. Undang-undang baru membentuk 11 daerah berdasarkan “etnisasi” yang akan berdiri sendiri.
Beberapa daerah seperti Addis Ababa tidak akan didominasi oleh sesuatu kelompok etnis. Pemerintah pusat hanya akan mengurusi masalah pertahanan, luar negeri dan pelestarian konstitusi. Pemilihan multipartai berdasarkan undang-undang baru dijadwalkan diadakan pada akhir 1995.
Diulas oleh: WILLIAM H. LEWIS, Universitas George Washington
Editor: Sejarah Negara Com