Marcos diganti Cory Aquino – Seperti telah dibahas pada sejarah Tentang Negara Filipina bahwa negara ini mendapatkan kemerdekaannya kembali dari Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1946. Filipina di bawah pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos yang berkuasa selama tiga periode terkenal dengan seorang yang korup dan otoriter, yang menempuh berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Rakyat Filipina tidak senang terhadap pemerintahan Marcos yang diktator.
Tindakan Presiden Marcos tersebut mendapat kritik keras dari Beniqno Aquino seorang tokoh Partai Lakas Ng Bayan (yang berarti People Power). Aquino menganggap Marcos memerintah secara totalitarian yang bertentangan dengan prinsip demokrasi Filipina. Persaingan antara Marcos dan Aquino berakhir pada tanggal 21 Agustus 1983.
Ketika Aquino bermaksud kembali ke Filipina setelah selama tiga tahun menetap di Amerika Serikat untuk berobat, saat mendarat di Bandara Tarmac Manila, Aquino ditembak dan meninggal dunia.
Perjuangan Benigno Aquino dilanjutkan oleh istrinya Corazon Aquino yang lebih dikenal sebagai Cory Aquino. Cory Aquino mendapat dukungan yang besar dari rakyat Filipina.
Dengan dukungan rakyat, Cory mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu pada tahun 1986. Rakyat Filipina berharap dengan tampilnya Cory akan memulihkan demokrasi Filipina dan Cory memenangkan pemilu tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan komisi pemilihan independen, Cory Aquino keluar sebagai pemenang, namun sebaliknya hasil perhitungan komisi pemilihan dari pihak pemerintah mengumumkan Marcos sebagai pemenang pemilu.
Dengan perbedaan tersebut menimbulkan tufuhan bahwa Marcos telah melakukan kecurangan dalam perhitungan suara. Ricard Lugar seorang ketua tim pengamat dari Amerika Serikat menyimpulkan bahwa Marcos secara sistematis telah memanipulasi perhitungan suara.
Pengumuman hasil pemilu tersebut menimbulkan kemarahan rakyat. Sehari setelah pengumuman parlemen, Cory Aquino menerima petisi 2,5 juta penduduk Kota Manila. Isi petisi menghendaki Cory Aquino menjadi presiden Filipina.
Cory Aquino menyambut baik kehendak rakyat tersebut, yang kemudian disusul dengan pengumuman dirinya sebagai presiden Filipina dan sebagai wakilnya Salvador Laurel. Cory Aquino mendapatkan dukungan penuh dari tokoh-tokoh politik, agama dan militer.
Mereka ini antara lain: Menteri Pertahanan (Juan Ponce Enrile), pimpinan gereja Katolik (Kardinal Sin), dan Panglima angkatan Bersenjata (Letnan Jenderal Fidel Ramos). Dukungan terhadap Cory Aquino juga datang dari perwira muda yang membentuk gerakan pembaruan dalam tubuh militer yang dipimpin oleh Kolonel Gregoria Honasan.
Dengan dukungan dari berbagai pihak tersebut, rakyat Filipina melakukan gerakan massa menggulingkan Marcos. Gerakan tersebut melalui revolusi damai tanpa pertumpahan darah pada tanggal 22-25 Februari 1986. Pada tanggal 25 Februari 1986 secara resmi Cory Aquino dilantik menjadi presiden Filipina untuk masa jabatan enam tahun.