Buyarnya Impian Kedamaian di Timur Tengah

Ketika Perang Enam Hari berakhir pada 10 Juni 1967, maka Israel sebagai pemenang menguasai wilayah yang luasnya empat kali dari luas wilayahnya. Pamor dan posisinya melonjak, sementara Negara-negara Arab harus menanggung akibat sebagai pihak yang kalah. Sudah kehilangan wilayah, mereka pun harus menanggung malu serta terkuras kekuatan militer maupun ekonominya.

Dari posisi tawarnya yang kini jauh lebih kuat, Israel beranggapan dan bahkan yakin, bahwa akhirnya dia akan memperoleh kedamaian. Karena berangkat dari kekuatannya itu, Tel Aviv percaya akan mampu menekan Negara-negara Arab dalam perundingan perdamaian. Israel pun sudah bermimpi bahwa kekerasan dan perang-perang yang selalu mewarnai sejarahnya, segera akan berakhir.

Bacaan Lainnya

Namun apa hendak dikata, hanya tiga minggu setelah perang 5-10 Juni ’67 itu usai, ternyata pecah insiden serius di terusan Suez, Qanat As-Suways. Tembakan pertama dilepaskan pada 1 Juli ketika sepasukan Mesir menyerang patroli Israel di tepian kanal tersebut.

Buyarnya Impian Kedamaian di Timur Tengah

Ini adalah awal dari apa yang akan dikenal sebagai The War of Attrition, peperangan berlama¬lama yang bertujuan saling menguras kekuatan dan nyali musuh. Hal inilah yang bakal membuyarkan impian Israel, karena perang ternyata berlangsung terus-menerus hingga tercapainya gencatan senjata pada Agustus 1970, untuk kemudian disusul dengan perang besar Yom Kippur tahun 1973.

Setelah Perang Enam Hari berakhir, maka posisi pasukan Mesir yang terusir dari Semenanjung Sinai kini bertahan di sepanjang Terusan Suez di tepian baratnya, sedangkan Israel menempatkan pasukannya di tepian timur Suez. Mereka saling berhadapan, hanya dibatasi oleh ialah air sepanjang 168 km yang ditutup sejak Perang Enam Hari.

Sesudah insiden 1 Juli, Israel menyatakan garis gencatan senjata antara kedua pihak ditarik di tengah-tengah kanal tersebut. Untuk menguji apakah Mesir menyepakati rumusan itu, maka Israel pada 14 juli mencoba menurunkan perahu-perahu AL di tepian kanal yang dikuasainya di dekat Kantara.

Tetapi yang terjadi, Mesir menganggap itu sebagai provokasi dan menembakinya, yang langsung berkembang menjadi pertempuran hebat melibatkan artileri dan Pesawat terbang pun dilibatkan dalam pertempuran udara yang seru di atas Suez. Beberapa pesawat MiG-17 Mesir tertembak jatuh. Sejumlah Israel pun tewas dan terluka dalam pertempuran ini. Sejak saat itu Israel tidak coba-coba melibatkan kapal AL-nya di perairan tersebut.

Menariknya, pada masa-masa tenang maka suasananya di seberang terusan tersebut seolah-seolah tidak terjadi apa-apa. Para prajurit kedua belah pihak bersantai di posisi masing-masing, berjemur atau memancing ikan. Bahkan tak jarang saling melambaikan tangan atau saling meledek dan bercanda sepertinya tidak bermusuhan.

Sekalipun demikian, dari Kairo maupun Tel Aviv tetap tidak ada tanda-tanda untuk duduk bersama di meja perundingan. Harapan Israel bahwa kemenangannya dalam Perang Enam Hari segera disusul perdamaian pun semakin meredup.

Politik Nasser

Meski kalah Perang Enam Hari, negara-negara Arab tetap keras dan teguh memusuhi Israel. Dalam sidang di Khartoum mereka menghasilkan resolusi “Tiga Tidak”. Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser kemudian menambahinya dengan “Satu Tidak” dalam memperjuangkan hak-hak rak

Berlawanan dengan harapan Israel, meskipun mereka kalah dalam Perang Enam Hari, negara-negara Arab ternyata tetap keras dan teguh sikapnya dalam menolak serta memusuhi negara Yahudi tersebut. Bahkan mereka pada 1 September menyelenggarakan pertemuan puncak di ibukota Sudan, Khartoum, guna menggariskan sikap dan aksi bersama pasta Perang Enam Hari.

Mereka menghasilkan resolusi “tiga tidak”, yang meliputi : tidak akan ada pengakuan terhadap, Israel, tidak akan ada perundingan dengan Israel, dan tidak akan ada perdamaian dengan Israel.

Dengan resolusi Khartoum tersebut, baik Israel maupun negara-negara Arab tidak berharap untuk tercapainya kesepakatan damai.

Masing-masing lalu menyiapkan diri untuk konfrontasi besar selanjutnya. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser kemudian di Kairo menambahkan “satu tidak” lagi, yaitu dalam memperjuangkan hak-hak yang sah dari rakyat Palestina, tidak akan ada konsesi apa pun bagi Israel. la menegaskan, semua hak rakyat Palestine maupun milik Arab lainnya yang telah diambil paksa oleh Israel dengan kekuatan, hanya akan dapat dipulihkan melalui kekuatan pule. Tidak lebih dan tidak kurang.

Nasser tidak berhenti pada pidato atau sekadar main retorika saja, namun berpikir dan bertindak dengan nyata. Sebagai pemimpin yang barn kalah perang, ia tentu berusaha mengembalikan kepercayaan rakyat Mesir dan dunia Arab selekasnya. Karena itu ia pun merumuskan kebijaksanaan kemiliteran Mesir, yang dibaginya menjadi tiga tahap untuk menekuk Israel.

Tahap pertama ia sebut sebagai “Rehabilitasi Pertahanan”, yang selanjutnya setelah tahap ini berhasil dicapai, maka menyusul tahapan “Pertahanan Ofensif”, dan terakhir adalah tahap “Pembebasan”.

Ia menyatakan, jika keadaan di sepanjang Terusan Suez saat itu tenang-tenang tanpa insiden, maka ini sifatnya hanyalah sementara saja. Karena begitu kondisinya baik dan tepat bagi Mesir, maka permusuhan pun akan diletupkan kembali. Kondisi tersebut terjadi pada bulan September itu juga, ketika Mesir menembaki kapal-kapal Israel yang hilir mudik di perairan yang dianggapnya sebagai wilayah kekuasaannya.

Insiden ini diduga dipicu oleh resolusi Khartoum serta keinginan Presiden Nasser untuk membuktikan bahwa ia besar-besar berpegang pada garis politik tersebut. Insiden ini pun dengan cepat meluas. Duel artileri yang seru pecah di sepanjang Terusan Suez sehingga kota-kota seperti Suez dan Ismailia tidak lupus dari sasaran meriam Israel. Akibatnya penduduk sipil banyak yang mengungsi.

PLO semakin aktif

Pupusnya impian Israel untuk mendapatkan anggukan damai dari negara¬negara Arab juga terasa di daerah tepi barat.

Pos terkait