Budi Utomo – Revolusi industri yang terjadi di Eropa pada abad ke-19 membawa nafas baru bagi banyak negeri terjajah di Asia, termasuk Indonesia. Walaupun pengaruhnya pada waktu itu belum menguntungkan rakyat, tetapi sedikitnya telah menyebabkan munculnya suatu golongan baru dalam masyarakat yang mempunyai pandangan dan gagasan lain dalam mengantarkan Indonesia ke Gerbang pembebasan diri dari belenggu penjajahan.
Lapisan baru ini yang menjadi elite nasional mulai menyadari bahwa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh masing-masing daerah secara tersendiri dengan perlengkapan yang terbelakang tidak mungkin akan berhasil.
Gejala Sejarah
Gejala sejarah yang terjadi itu dikenal sebagai Kebangkitan Nasional, yang tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam negeri saja, melainkan juga dari luar negeri.
Faktor dalam negeri adalah pelaksanaan politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda yang memungkinkan masuknya ide-ide dari Barat maupun pengaruh pembaharuan-pembaharuan di dalam agama Islam.
Faktor luar negeri antara lain adalah masuknya gagasan nasionalisme modern, khususnya pengaruh pergerakan nasionalisme modern, khususnya pengaruh pergerakan nasional dan modernisasi di beberapa negara Asia seperti di Turki, Cina dan India, serta Restorasi Meiji di Jepang dan kemenangan negeri itu atas Rusia pada tahun-tahun pertama abad ke-20, suatu kemenangan yang dianggap sebagai kemenangan orang Asia (kulit berwarna) terhadap orang Eropa (kulit putih).
Karena pengaruh gagasan-gagasan modern, anggota elite nasional menyadari bahwa perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan dengan mempergunakan organisasi modern. Baik dalam bidang pendidikan, perjuangan politik, perjuangan ekonomi maupun perjuangan sosial-budaya membutuhkan organisasi.
Pergerakan Pemuda Pemudi
Berdasarkan pandangan yang demikian, beberapa pemimpin di dalam masyarakat mulai menggerakkan pemuda-pemuda, khususnya kaum terpelajar untuk mengorganisasi diri baik pada bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Begitulah dalam tahun 1906 dan 1907 dr. Wahidin Sudirohusodo mengadakan suatu perjalanan kampanye ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Ia menggugah pikiran kaum priyayi untuk mencari jalan bagi usaha meningkatkan derajat bangsa Indonesia yang nampaknya hanya dapat dilakukan dengan memperluas pengajaran.
Masyarakat di Jawa pada masa itu terbagi atas 3 lapisan, yakni lapisan bangsawan atau ningrat paling atas, lapisan priyayi di tengah dan lapisan orang kecil atau rakyat biasa di bawah.
Tujuan itu dapat dilaksanakan tidak hanya dengan menuntut kepada pemerintah, tetapi juga atas usaha sendiri. Caranya adalah dengan membentuk dana belajar yang hasilnya akan digunakan untuk menyokong pelajar-pelajar yang kurang mampu. Meskipun hasil kampanye itu tidak begitu hebat, namun hasilnya nampak juga.
Di daerah Jawa Tengah terbuka hubungan luar jabatan di antara pejabat pribumi. Di samping itu yang sangat penting adalah hasil pertemuan antara dr. Wahidin Sudirohusodo dengan pemuda Sutomo, pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandense Artsen) = Sekolah untuk mendidik dokter pribumi di Jakarta pada akhir tahun 1907.
Ternyata bahwa keduanya memiliki gagasan dan cita-cita yang bersamaan. Pertemuan ini makin mendorong hasrat untuk melaksanakan cita-cita tersebut yang sesungguhnya sudah mulai bersemi pada pikiran para pelajar STOVIA.
Lahirnya Budi Utomo Organisasi Modern Pertama
Sebagai buah dari cita-cita mereka, maka pada tanggal 20 Mei 1908 di gedung perguruan mereka pelajar STOVIA membentuk organisasi modern pertama di kalangan bangsa Indonesia yang diberi nama Budi Utomo. Sebagai ketua terpilih Sutomo.
Budi Utomo jangkauannya lebih luas daripada hanya membentuk dana belajar, lagipula disusun dalam bentuk organisasi modern yang mempunyai susunan pengurus, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan sebagainya.
Tanggal berdirinya BU dipandang sebagai hari Kebangkitan Nasional yang setiap tahun diperingati oleh seluruh bangsa Indonesia. Begitupun Gedung STOVIA setelah dipugar disebut gedung Kebangkitan Nasional.
Sejak awal berdirinya sampai kepada kongresnya yang pertama dalam bulan Oktober 1908, Budi Utomo merupakan organisasi pelajar dengan para pelajar STOVIA sebagai intinya.
Tujuannya masih dirumuskan secara samar-samar, yaitu “kemajuan bagi Hindia”, sedangkan jangkauan gerakanya terbatas pada Jawa dan Madura. Baru kemudian terbuka bagi orang Indonesia lainnya tanpa memperhatikan perbedaan keturunan, jenis kelamin dan agama.
Berdirinya Budi Utomo ternyata sangat menarik perhatian masyarakat. Dalam 6 bulan saja yaitu antara Mei sampai bulan Oktober 1908 cabang Budi Utomo telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya dan Probolinggo.
Kongres Budi Utomo Pertama
Untuk mengkonsolidasi diri, Budi Utomo mengadakan kongres pertama di Yogyakarta pada bulan Oktober 1908. Setelah melalui perdebatan yang panjang diambil keputusan sebagai berikut:
- Budi Utomo tidak ikut mengadakan kegiatan politik.
- Kegiatan terutama ditujukan kepada bidang pendidikan dan budaya.
- Ruang gerak terbatas hanya pada daerah Jawa dan Madura.
Kongres juga memutuskan susunan pengurus besar dimana R.T. Tirtokusumo Bupati Karanganyar, ditunjuk sebagai ketua. Pusat organisasi ditetapkan di Yogyakarta.
Dalam perkembangan selanjutnya kelihatan bahwa anggota Budi Utomo kebanyakan adalah dari kalangan priyayi dan pegawai negeri. Terpengaruh oleh hal tersebut, tujuannya pun mulai condong kepada kepentingan mereka.
Sebagai pengetahuan Bahasa Belanda mendapat prioritas pertama, karena tanpa menguasai bahasa itu seseorang jangan berharap akan dapat memperoleh kedudukan yang layak dalam jenjang kepegawaian kolonial.
Dengan demikian, maka BU cenderung untuk memajukan pendidikan golongan priyayi daripada bagi penduduk pribumi pada umumnya. Begitu pun ketuanya R.T. Tirtokusumo sebagai seorang bupati lebih banyak memperhatikan reaksi dari pemerintah kolonial daripada memperhatikan reaksi rakyat Indonesia.
Jadi jelas menonjolnya pengaruh golongan priyayi yang lebih mengutamakan jabatannya, khususnya golongan tuanya yang moderat. Dan jelas pula kelihatan bahwa sikap yang lebih nasionalistis pada pihak para pelajar STOVIA yang terkemuka pada awal berdirinya Budi Utomo kini terdesak ke belakang.
Beberapa Tokoh Keluar dari Budi Utomo
Melihat perkembangan BU tersebut, para pelajar merasa kecewa dan memutuskan untuk keluar dari organisasi itu. Begitupun beberapa tokoh yang radikal seperti dr. Tjipto Mangunkusumo keluar dari organisasi.
Karena tidak melibatkan diri dalam politik dan karena itu dipandang tidak berbahaya sebagai organisasi Budi Utomo disyahkan oleh pemerintah kolonial sebagai badan hukum.
Dengan demikian diharapkan bahwa organisasi itu akan melancarkan aktivitas secara luas. Harapan tersebut tidak terkabul karena gerak organisasi kemudian ternyata menjadi lamban yang disebabkan beberapa hal. Seperti kesulitan keuangan, para bupati mendirikan organisasi sendiri, keluarnya para anggota dari golongan pelajar mahasiswa.
Meskipun demikian, sampai akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai cabang di 40 tempat dengan jumlah anggota kurang lebih 10.000 orang. Suatu jumlah yang pada waktu itu dianggap sudah cukup besar. Usaha-usaha untuk memajukannya pada tahun berikutnya tidak begitu mencapai sukses.
Kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap munculnya Budi Utomo sebagai organisasi yang mempelopori Kebangkitan Nasional yang dipandang berbahaya bagi kolonialisme menjadi hilang setelah dinilai bahwa pengaruhnya terhadap penduduk pribumi tidak begitu besar.
Lebih-lebih melihat kenyataan bahwa organisasi itu tidak berpolitik, telah mengurangi minat mereka cenderung ke arah radikalisme, yang pada waktu itu sudah mulai terbayang dengan munculnya organisasi nasional lainnya, terutama Sarekat Islam dan Indische Partij, yang sifatnya lebih memenuhi keinginan rakyat.
Baca juga referensi lain: Lahirnya Budi Utomo awal Kebangkitan Nasional
Karena itu, kedua partai tersebut menarik unsur-unsur yang tidak puas keluar dari Budi Utomo. Sungguhpun prinsip-prinsip utama tentang netralisasi agama dan aktivitas non-politik Budi Utomo membedakan dirinya dengan organisasi-organisasi lain.
Tetapi ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa selama prinsip-prinsip itu dipertahankan dengan sifat yang pasif tidaklah dapat diharapkan pengaruhnya akan makin meluas, malahan sebaliknya. Meskipun pengaruhnya menurun, namun Budi Utomo tetap melaksanakan kegiatan di bidang sosial-budaya.