Baterai adalah alat listrik-kimiawi yang menyimpan energi dan mengeluarkan tenaganya dalam bentuk listrik. Penemuan baterai berawal di Baghdad, Irak. Penemuan ini berawal ketika sebuah silinder tembaga diletakkan di tengah-tengah batang besi dalam larutan yang tidak diketahui. Larutan ini belakangan disebut elektrolit dan peristiwanya dikenal sebagai ionisasi larutan elektrolit (Monk, 2004).
Baterai yang ditemukan di Baghdad merupakan salah satu artifak kuno yang paling membingungkan para ilmuwan maupun arkeolog. Pada tahun 1930 silam, pada sebidang makam kuno di luar Baghdad (Khujut Rabula), beberapa arkeolog yang melakukan penggalian di sana menemukan sebuah artifak yang diduga merupakan satu set baterai kimia yang usianya telah mencapai 2000 tahun lebih (Jenstea, 2010).
Artifak aneh tersebut terdiri atas sebuah silinder tembaga, batang besi, serta aspal yang disusun sedemikian rupa dalam sebuah jambangan kecil (tinggi 14 cm dan diameter 8 cm) yang terbuat dari tanah liat. Setelah para ahli mereka ulang, ternyata memang benar didapati bahwa artifak tersebut merupakan sebuah baterai elektrik kuno.
Para peneliti berhasil memperoleh tegangan sebesar 1,5 volt dari artifak batu baterai elektrik tersebut, yang bekerja nonstop selama 18 hari dengan cara memasukkan cairan asam ke dalam jambangannya, misalnya air jeruk (sunkist atau lemon lebih bagus), H2SO4, serta semua larutan golongan elektrolit (Jenstea, 2010).
Usia artifak baterai kuno ini diperkirakan berkisar 2.000 – 5.000 tahun, jauh sebelum Alessandro Volta (Italia) membuat baterai pertama kali pada tahun 1800 M serta Michael Faraday (Inggris) menemukan induksi elektromagnetik dan hukum elektrolisis pada tahun 1831 M yang jarak penemuannya hingga kini mencapai sekitar 200 tahun lebih.
Temuan ini tentunya dapat mengubah pandangan manusia masa kini akan kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh peradaban manusia masa lalu. Nampaknya, aktivitas elektrik telah dikenal oleh manusia pada masa-masa itu.
Tidak hanya artifak baterai di Baghdad saja yang menarik perhatian para ilmuwan maupun arkeolog di seluruh dunia, tetapi juga terdapat beberapa artifak serupa yang diduga juga sebagai peralatan elektrik masa silam, seperti Dendeera Lamps, Assyrian Seal, maupun The Coffin of Henettawy (Jenstea, 2010).
Baterai Nickel Cadmium (Ni-Cad) yang merupakan baterai yang dibuat dari campuran Nikel dan Cadmium, diproduksi pertama kali setelah penemuan artifak batu baterai di Baghdad yang membuat perhatian dunia tertuju ke arah penelitian tentang pembuatan dan pengembangan baterai yakni pada tahun 1946.
Namun memiliki kekurangan yakni ada pada biaya pembuatan yang mahal, kapasitas berkurang jika baterai tidak dikosongkan (memory effect), dan tidak ramah lingkungan (beracun).
Kemudian pada tahun 1980, baterai Nickel Metal Hydride (NiMH) dikembangkan dengan kapasitas lebih besar dan tidak menggunakan senyawa kimia yang berbahaya bagi lingkungan.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, baterai ini dianggap kurang mampu menangani perangkat eletronik yang baru. Pada perkembangan selanjutnya adalah baterai Lithium-Ion yang ditemukan pertama kali tahun 1960 di Bell Labs.
Baterai ini paling banyak digunakan untuk perangkat elektronik karena rasio energi dan berat paling baik, tanpa memory effect (bisa diisi ulang kapan saja), bentuk sangat fleksibel, ringan, dan kehilangan daya saat digunakan paling kecil.
Namun sayangnya, kekurangan dari baterai ini adalah umur pakainya tergantung dari lama pembuatan dan seringnya frekuensi isi ulang. Maka dari itu, muncullah baterai Lithium-Polymer (Bataviase, 2010).
Lithium-Polymer (Li-Po) merupakan pengembangan dari Li-Ion, yang mulai digunakan untuk perangkat elektronik sejak tahun 1996. Biaya pembuatan Li-Po lebih murah dibandingkan Li-Ion, dan lebih tahan terhadap kerusakan fisik.
Kapasitas penyimpanan energi Li-Po 20% lebih tinggi dibanding Li-Ion, 300% lebih tinggi dibandingkan daya simpan NiCad dan NiMH. Tetapi karena produksinya belum sebanyak baterai Li-Ion, harga jual dari baterai yang satu ini masih lebih mahal (Bataviase, 2010).