Sejarah Negara Com – Jenderal Besar TNI (Purn.) Dr. Abdul Haris Nasution lahir 3 Desember 1918 di Kotanopan, Sumatra Utara dan meninggal 6 September 2000 di Jakarta pada umur 81 tahun.
Beliau adalah seorang pahlawan nasional Indonesia, salah satu tokoh TNI Angkatan Darat yang menjadi sasaran dalam peristiwa G30 S PKI. Meskipun Abdul Haris Nasution berhasil selamat dari upaya penculikan, namun beliau harus kehilangan putrinya Ade Irma Suryani Nasution beserta ajudannya, Lettu Pierre Tendean.
Abdul Haris Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 dan kemudian diadopsi selama pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, tetapi pada saat yang sama tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.
Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.
Informasi Pribadi
Nama | Abdul Haris Nasution (Jenderal Besar TNI Purnawirawan) |
Lahir | 3 Desember 1918, Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatra Utara, Hindia Belanda |
Meninggal dunia | 5 September 2000 (umur 81), Jakarta, Indonesia |
Tokoh | Pahlawan Nasional Jenderal Angkatan Darat, dua kali diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat |
Penetapan | 2002 |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Non partai |
Pasangan | Johanna Sunarti |
Profesi | Tentara |
Penghargaan sipil | Pahlawan Nasional Indonesia |
Tanda Tangan |
Jabatan
1. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke-2
Masa jabatan | 1966 – 1972 |
Presiden | Soekarno Soeharto |
Pendahulu | Chaerul Saleh |
Pengganti | Idham Chalid |
2. Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia ke-12
Masa jabatan | 10 Juli 1959 – 24 Februari 1966 |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu | Djoeanda Kartawidjaja |
Pengganti | Sarbini |
3. Dinas Militer
Julukan | Pak Nas |
Pihak | Hindia Belanda (1941 – 1942) Kekaisaran Jepang (1942 – 1945) Indonesia (1945 – 1952, 1955 – 1971) |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1941 = 1952, 1955 – 1971 |
Pangkat | Jenderal Besar TNI |
Satuan | Infanteri |
Komando | Panglima Divisi Siliwangi |
Pertempuran/perang | Revolusi Nasional Indonesia |
Riwayat
Tahun | Peristiwa |
---|---|
1932 | Menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi. |
1940 | Pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia, Nasution bergabung. |
1940 | Dipromosikan menjadi kopral |
1945 | Bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) |
1946 | Diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan |
1948 | Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah. |
1948 | Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR berpangkat Kolonel |
1948 | Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melawan dengan taktik perang gerilya. |
1950 | Nasution mengambil posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dengan T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang. |
1952 | Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk ABRI. |
1952 | Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk kekuatan. |
1953 | Nasution menulis sebuah buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. |
1955 | Setelah tiga tahun pengasingan, Nasution diangkat kembali ke posisi lamanya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. |
1956 | Nasution telah berusaha untuk membasmi korupsi di Angkatan Darat |
1957 | Nasution memerintahkan para tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasi. |
1958 | Konseptor Dwifungsi ABRI yang kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto |
1962 | Nasution dan Yani adalah komandan keseluruhan yang disebut dengan operasi Pembebasan Irian Barat, dengan Soeharto yang ditempatkan di Indonesia timur sebagai komandan lapangan. |
1965 | Nasution ditunjuk sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian, namun menolak. |
1966 | Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet. Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan. |
1966 | Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai agenda pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan dokumen yang sebenarnya. |
1967 | Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa mengatasi masalah G30S. |
1968 | Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh. |
1969 | Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akademi Militer. |
1971 | Nasution tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun lebih cepat dari usia pensiun yakni 55 tahun. |
1972 | Nasution digantikan oleh Idham Chalid sebagai Ketua MPRS. Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik. |
1978 | Bersama-sama dengan mantan wakil presiden Hatta, Nasution mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB). |
1997 | Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar |