Sejarah hari ini – Peristiwa berdarah 2 tahun lalu, tepatnya pada sore hari tanggal 15 Maret 2019, seorang pria bersenjata menyerang dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Serangan saat Sholat Jum’at tersebut menewaskan 51 orang, melukai 40 orang, dan menjadi peristiwa yang menyisakan kesedihan mendalam bagi warga negara New Zealand. Kepercayaan diri mereka terhadap rasa aman dari bencana pun terkoyak. Peristiwa ini merupakan hari tergelap dan paling mematikan dalam sejarah Selandia Baru.
Seorang pria berkebangsaan Australia yang memiliki hubungan dengan Gerakan Identiter rasis dan xenofobia di negara asalnya, melepaskan tembakan ke Masjid Al Noor sekitar pukul 1:40 siang. Padahal di dalam masjid tersebut terdapat ratusan orang yang sedang melaksanakan ibadah Sholat Jumat.
Tak hanya berhenti di situ, setelah beberapa menit melakukan tembakan membabi buta, pria tersebut pergi ke satu masjid Linwood Islamic Center yang terletak sekitar tiga mil dari tempat tersebut. Pria tersebut kembali kembali menembaki jamaah masjid, namun tidak menimbulkan korban separah di masjid pertama. Karena salah seorang jamaah ada yang berani melawan pria tersebut dan berhasil merebut salah satu senjatanya. Pria tak dikenal tersebut kemudian melarikan diri, namun berhasil ditangkap kurang dari setengah jam setelah peristiwa tersebut.
Berita pembantaian pun menyebar ke seluruh dunia, pihak berwenang menemukan manifesto penembak, yang mengakui keyakinan rasis dan xenofobiknya, secara positif merujuk pada genosida Muslim Bosnia.
Berbeda dengan Amerika Serikat, di mana penembakan massal menjadi hal biasa, insiden tersebut merupakan penembakan massal pertama di Selandia Baru sejak 1997. Sejak saat itu, pemerintah Selandia Baru berjanji untuk menerapkan undang-undang baru yang akan membantu mencegah hal serupa terjadi lagi.
Perdana Menteri Jacinda Ardern, kepala pemerintahan wanita termuda di dunia, memprioritaskan akan melakukan pengendalian senjata segera peristiwa berdarah tersebut, dengan membentuk komisi untuk mempelajari masalah tersebut.
Bulan berikutnya, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang melarang senjata semi-otomatis dan komponennya serta menerapkan periode pembelian kembali untuk senjata yang akan menjadi ilegal. Pada akhir tahun 2019, pemerintah telah menerima lebih dari 56.000 senjata dan lebih dari 194.000 bagian senjata.