Perkembangan Islam zaman Usman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib – Pada zaman Usman Bin Affan (644 – 656 M) Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain dikuasai Islam, tetapi gelombang ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. Di kalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan karena soal pemerintahan dan kekacauan yang timbul. Akhirnya Usman pun terbunuh oleh para pemberontak. Selengkapnya silahkan baca di artikel: Akhir hayat Usman bin Affan
Sebagai pengganti Usman Bin Affan, Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah keempat (656 – 661 M), tetapi ia mendapatkan tantangan dari pihak pendukung Usman, terutama Muawiyah, Gubernur Damaskus. Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim.
Dari pihak Abi Thalib mengutus ulama terkenal yang jujur tetapi tidak cerdik dalam politik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Sebaliknya dari pihak Muawiyah mengutus seorang yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik, yaitu Amr bin Ash.
Pendukung Ali bin Abi Thalib pecah
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali bin Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah, karena kecerdikan Amr bin Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Abi Thalib terpecah menjadi dua kelompok, yaitu:
- Kelompok pertama: mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali bin Abi Thalib.
- Kelompok kedua: kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang akhirnya mereka menyatakan diri keluar dari pendukungnya, yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat tahkim, termasuk Abi Thalib.
Sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, Khawarij mengeluarkan beberapa pernyataan yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai orang-orang kafir. Khawarij berpendapat bahwa Usman bin Affan telah menyeleweng dari ajaran Islam. Demikian pula, Abi Thalib.
Dalam pandangan Khawarij keduanya telah keluar dari Islam, yaitu murtad dan kafir. Di samping dua khalifah umat Islam di atas, politisi lain yang dipandang kafir oleh Khawarij adalah Muawiyah, Abu Musa, dan semua orang yang menerima tahkim.
Dalam mengeluarkan pernyataan politiknya Khawarij tidak lagi berada dalam jalur politik, tetapi dalam wilayah atau jalur teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagaman umat Islam. Khawarij dinilai keluar dari wilayah politik karena sudah menilai kafir terhadap orang-orang yang telah terlibat dan menerima tahkim.
Menurut Harun Nasution, kafir dan mukminnya seseorang paling tidak bukan termasuk wilayah politik, tetapi wilayah kalam atau teologi. Karena kafir terhadap Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Abu Musa, Amr bin Ash, Khawarij tidak lagi dinilai sebagai aliran politik, tetapi dianggap sebagai aliran kalam.
Disamping penentang, Ali bin Abi Thalib memiliki pendukung yang sangat fanatik yang senantiasa setia kepadanya. Dengan adanya oposisi terhadap pemerintahan Abi Thalib, kesetiaan pendukungnya semakin bertambah, apalagi setelah Alibin Abi Thalib dibunuh oleh kalangan Khawarij. Mereka fanatik terhadap Abi Thalib yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah.
Meskipun berbeda kepentingan, dua kelompok ini sepakat untuk menentang kekuasaan Dinasti Bani Umayah. Khawarij menentang kekuasaan Bani Umayah karena menurut mereka, Bani Umayah telah menyeleweng dari ajaran Islam. Adapun Syi’ah menentang kekuasaan Bani Umayah karena dalam pandangan mereka, Bani Umayah telah merampas kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib dan keturunannya.
Dalam suasana pertentangan itulah muncul ulama yang berusaha netral politik. Mereka tidak berpihak kepada Syi’ah, Khawarij maupun kepada lainnya. Kelompok ini tidak menghendaki adanya sahabat yang dinilai kafir dan keluar dari Islam.
Menurut kelompok ini, sahabat yang bertikai karena kepentingan politik tidak keluar dari jalur Islam, mereka tetap mukmin dan tidak kafir. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Murji’ah yang bisa dikatakan kelompok Jumhur.