Akulturasi Kebudayaan Situs Sendang Duwur Kecamanatan Paciran, Kabupaten Lamongan

Sendang Duwur merupakan sebuah nama desa yang terletak di wilayah Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, pada koordinat 6° 53′ 6.07”, Lintang Selatan 112° 19′ 37.67” Bujur Timur dengan luas 61,303 km² atau mempunyai wilayah kurang lebih 22,5 Ha/m2, letak Desa Sendang Duwur ini masuk dalam wilayah dataran tinggi berada sekitar 120 mdpl.

Situs sejarah Sendang Duwur, merupakan perpaduan Hindhu-Budha dan Islam. Sunan Sendang Duwur atau Raden Nur Rohmat yang bergama islam datang ke daerah Sendang Duwur. Ketika itu masyarakat masih menganut agama Hindhu-Budha.

Bacaan Lainnya

Raden Nur Rohmat melakukan stategi penyebaran islam ke daerah tersebut dengan menyelarasan serta memasukkan kebijakan atau aturan islam dalam kehidupan masyarkat. Sehingga masyarakat dapat menerima islam tanpa menolak secara mentah-mentah. Sendang Duwur menjadi cerminan adanya keberagaman, sikap toleransi, cara beradaptasi dan rukun antara umat beragama.

Raden Nur Rohmat memiliki hubungan dengan Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga dalam pembangunan masjid. Kedua sunan ini menyarankan dan memerintahkan Raden Nur Rohmat untuk pergi ke Ratu Kalinyamat di Demak Bintoro dalam meminta bantuan pembangunan masjid.

Situs Sendang Duwur

Masjid ini memiliki candrasengkala kuno perpaduan dari bahasan Arab, Latin, dan Jawa. Masjid Sendang Duwur merupakan jejak peninggalan dakwah kultural Sunan Sendang Duwur dengan gaya aristektur yang berakulturasi antara vernacular tradisi Jawa dengan Hindu.

Masjid Sendang Duwur memiliki empat soko guru yang menyanggah bangunan masjid dan menampilkan bangunan khas vernacular daerah Jawa. Mustaka pada atap masjid bertumpang tiga mirip meru pada bangunan Hindu yang berfungsi sebagai penutup celah yang ada pada ujung atap agar air hujan tidak masuk kedalam masjid serta menguatkan ujung atap.

Dalam filosofi orang Jawa, bhawa meru sebagai gunung merupakan tempat yang tinggi dan disakralkan sebagai simbol sesuatu bernilai magis dan tempat tinggal dewa dan nilai-nilai Islam bermakna hakekat, syariat dan ma’rifat. mihrab masjid berbentuk lengkungan kalamakara seperti candi. mimbar masjid berukiran Jepara dengan bentuk florish dan bunga teratai. gapura masjid berbentuk tugu bentar mengingatkan pada bentuk bangunan kori pada kedathon di komplek Kerajaan Hindu.

Pada serambi terdapat candrasengkala tulisan Jawa pada sebuah papan kayu yang berbunyi: Gurhaning Sarira Tirta Hayu (1483 S=1561 M) (siswayanti, 2018). Pada penyebaran islam di Jawa masjid menjadi sarana penting dalam syiar. Masjid menjadi wadah akulturasi dua unsur kebudayaan penyebaran islam yaitu ajaran islam dan kebudayaan masyarkat setempat.

Tidak mengherankan bahwa arsitektur dari Masjid Sendang Duwur menggunakan gaya tradisional yang cenderung bernuansa Hinduisme. Kontak interaksi penyebaran islam oleh Raden Nur Rohmat dengan masyarakat setempat, berakibat munculnya kontak budaya atau akulturasi tradisi-budaya Hindu dengan nilai-nilai Islam di Masjid Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur beberapa kali direnovasi.

Sekitar tahun 1851, masjid ini direnovasi dengan insiaptif serta biaya swadaya masyarkat setempat. Masyarakat melakukan gotong royong dan kerjasama dalam melakukan renovasi ini. Renovasi ini tetap mempertahankan desain bangunan aslinya.

Namun untuk atap sirap diganti dengan genteng, dan tiang soko guru dari kayu jati diganti dengan beton. Empat soko guru sakaning guru tiang penyangga tersebut merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin.

Saka guru juga melambangkan kesatuan atau kegotongroyongan unsur masyarakat Indonesia. Akulturasi budaya juga terlihat pada pemakain bedug. Pada Masjid Sendang Duwur, bedug difungsikan sebagai penanda waktu sholat. Pada masyarakat Jawa, bedug menjadi salah satu seni karawitan dalam seperangkat gamelan. Untuk umat Hindhu-Budha, bedug digunakan sebagai seni tabuhan dan seni tambur pada ritual keagamaan.

Secara umum masjid Jawa memiliki gerbang untuk memisahkan daerah suci dan kotor. Pada Majid Sendang Duwur ini memakai ciri khas masjid klasik Jawa. Hal ini ditandai dengan adanya gapura bentar dan paduraksa bersayap.

Penulis

NamaAbdus Samad
Abdus Samad
Umur23 tahun
StatusPelajar di Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Jember

Pos terkait